31 Okt 2010

Sistem Pemerintahan Parlementer dan Sistem Pemerintahan Presidensil

1.    Sistem Pemerintahan Parlementer
Sistem parlementer adalah sistem atau keseluruhan prinsip penataan hubungan kerja antarlembaga negara yang secara formal memberikan peran utama kepada parlemen atau badan legislatif dalam menjalankan pemerintahan negara.
a.     Karakteristik Sistem Parlementer
Dominasi peranan parlemen itu tampak dari hal-hal berikut:
·         Parlemen, melalui pemimpin partai yang menguasai mayoritas kursi parlemen, menyusun kabinet atau dewan menteri. Lazimnya pemimpin partai itu diminta oleh kepala negara untuk menjadi pembentuk kabinet (formatur kabinet). Pembentuk kabinet itu akan:
a.       Menyusun sendiri susunan kabinet jika ia merasa tidak memerlukan koalisi; atau
b.      Menghubungi, melakukan tawr-menawar dan menyusun bersama kabinet dengan pimpinan partai-partai politik lain yang akan dilibatkan dalam kabinet koalisi. Sesudah kabinet terbentuk, formatur kabinet akan menjadi menteri utama atau perdana menteri yang memimpin kerja kabinet.
·         Perdana menteri dan para menteri itu berasal dari kalangan anggota parlemen dan akan tetap menjadi anggota parlemen, sehingga hakikat kabinet hanyalah sebuah komisi dari parlemen.
·         Perdana menteri dan kabinetnya berkewajiban menjalankan kewajiban pemerintahan yang digariskan oleh parlemen; dan karena itu, harus bertanggung jawab kepada parlemen. Parlemen mengawasi jalannya pemerintahan dan menilai apakah kabinet masih dapat dipercaya untuk menjalankan kebijakan pemerintahan ataukah tidak.
·         Masa jabatan menteri atau kabinet sangat bergantung pada kehendak parlemen. Para menteri itu akan tetap memegang jabatannya selama mereka mendapat kepercayaan dari parlemen. Namun apabila mereka mendapat mosi tidak percaya dari parlemen, mereka pun harus mengundurkan diri dari jabatannya.
·         Kepala negara atau raja berperan sebagai penengah bila terjadi pertentangan antara parlemen dan kabinet. Terdapat pula mekanisme ‘menyeimbangkan’ kekuasaan kabinet dengan parlemen melalui pelaksanaan pemilu lebih awal, yang dapat dilaksanakan bila kabinet pengganti yang baru terbentuk ternyata juga masih mendapat mosi tidak percaya dari parlemen. Dalam hal semacam ini, kabinet justru bisa meminta kepala negara agar menyelenggarakan pemilu anggota parlemen yang baru.
Dapat disimpulkan bahwa sistem pemerintahan parlementer adalah keseluruhan prinsip penataan hubungan kerja antara legislatif dan eksekutif (dan juga yudikatif) yang dicirikan oleh adanya ‘fusi atau penggabungan kekuasaan’, yaitu pemusatan semua kekuasaan pada parlemen.
1.      Kelebihan Sistem Pemerintahan Parlementer:
  1. Pembuat kebijakan dapat ditangani secara cepat karena mudah terjadi penyesuaian pendapat antara eksekutif dan legislatif. Hal ini karena kekuasaan eksekutif dan legislatif berada pada satu partai atau koalisi partai.
  2. Garis tanggung jawab dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan public jelas.
  3. Adanya pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap kabinet sehingga kabinet menjadi barhati-hati dalam menjalankan pemerintahan.
2.      Kekurangan Sistem Pemerintahan Parlementer:
  1. Kedudukan badan eksekutif/kabinet sangat tergantung pada mayoritas dukungan parlemen sehingga sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan oleh parlemen.
  2. Kelangsungan kedudukan badan eksekutif atau kabinet tidak bias ditentukan berakhir sesuai dengan masa jabatannya karena sewaktu-waktu kabinet dapat bubar.
  3. Kabinet dapat mengendalikan parlemen. Hal itu terjadi apabila para anggota kabinet adalah anggota parlemen dan berasal dari partai meyoritas. Karena pengaruh mereka yang besar diparlemen dan partai, anggota kabinet dapat mengusai parlemen.
  4. Parlemen menjadi tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif. Pengalaman mereka menjadi anggota parlemen dimanfaatkan dan manjadi bekal penting untuk menjadi menteri atau jabatan eksekutif lainnya.

b.    Prinsip-prinsip Sistem Parlementer
Menurut Ranney, pemusatan kekuasaan negara ke tangan parlemen di negara pengguna sistem parlementer dilakukan melalui dua sarana, yaitu:
a.       Rangkap jabatan, dan
b.      Dominasi formal parlemen.

1.      Rangkap Jabatan
Konstitusi negara yang menganut sistem parlementer akan menentukan bahwa mereka yang menduduki jabatan menteri harus merupakan anggota parlemen. Dengan demikian kabinet dan para menterinya merupakan komisi parlemen yang didudukkan di lembaga eksekutif.
Prinsip semacam ini tentu berbeda dengan ajaran trias politika yang menghendaki adanya pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga cabang kekuasaan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) yang masing-masing harus dijabat oleh pejabat atau tumpang tindih pejabat di antara tiga cabang kekuasaan yang ada.

2.      Dominasi Resmi Parlemen
Dalam sistem pemerintahan parlementer, parlemen sangat berkuasa. Parlemen merupakan lembaga legislatif negara tertinggi. Mereka tidak saja membuat undang-undang baru, melainkan juga memiliki kekuasaan untuk merevisi atau mencabut undang-undang yang berlaku dan menentukan apakah sebuah undang-undang bersifat konstitusional atau tidak.
Kabinet, yang merupakan cabang pemerintahan eksekutif yang menentukan kebijakan pemerintahan, duduk di parlemen dan harus bertanggung jawab terhadapnya. Wewenang para menteri untuk  memimpin lembaga-lembaga eksekutif dijamin oleh parlemen selama para menteri itu masih dipercaya oleh parlemen. Bila memutuskan untuk menarik kepercayaannya terhadap kabinet atau menteri, parlemen tinggal menyatakan mosi tidak percaya. Jika hal itu terjadi, kabinet atau menteri yang bersangkutan harus mengundurkan diri dari jabatannya dan digantikan oleh kabinet yang dapat diterima mayoritas anggota parlemen.
Jika kabinet baru itu kemudian juga mendapat mosi tidak percaya, pemilu baru untuk memilih anggota parlemen bisa dilakukan, yang hasilnya bisa berupa terpilihnya kembali menteri yang lama ataupun digantikan dengan yang baru. Dengan kata lain, kemacetan kerja atau deadlock antara legislatif dan eksekutif yang umum terjadi dalam sistem presidensial tidak ditoleransi dalam sistem parlementer; sebab, dalam sistem parlementer kemacetan itu dipecahkan dengan mengubah keanggotaan dan perilaku salah satu atau kedua belah pihak (kabinet atau parlemen) sehingga kesepakatan di antara mereka dapat dicapai.

2.    Sistem Pemerintahan Presidensial
Sistem presidensial adalah sistem atau keseluruhan prinsip penataan hubungan kerja antar lembaga negara melalui pemisahan kekuasaan negara, di mana presiden memainkan peran kunci dalam pengelolaan kekuasaan eksekutif.
a.     Karakteristik Sistem Presidensial
Peran kunci presiden itu tampak dari hal-hal berikut:
·         Presiden adalah kepala negara sekaligus adalah kepala pemerintahan.
·         Presiden adalah pihak yang berwenang menyusun kabinet. Dalam menyusun kabinet tidak ada kewajiban resmi bagi presiden untuk menghubungi, melakukan tawar-menawar dengan pihak-pihak yang secara politik terwakili di parlemen. ( Sistem ini juga disebut sebagai sistem non-parliamentary executive, karena pengangkatan para menteri sepenuhnya menjadi kekuasaan presiden).
·         Para menteri tidak boleh menjadi anggota parlemen; jadi, kabinet bukan merupakan sebuah komisi dari parlemen melainkan semata-mata pembantu presiden.
·         Para menteri bertanggung jawab kepada presiden, bukan kepada parlemen. Mereka tetap menduduki jabatannya sebagai menteri selama masih dipercaya oleh presiden. Mereka tidak dapat dijatuhkan oleh mosi tidak percaya dari parlemen.
·         Masa jabatan menteri sangat bergantung pada presiden. Presiden dapat mengganti menterinya yang dipandang tidak mampu kapan pun ia mau. Masa jabatan para menteri tidak bergantung pada kepercayaan parlemen, melainkan tergantung pada presiden. (Karena itu, sistem presidensial juga disebut sebagai sistem fixed executive, dalam arti masa jabatannya pasti tidak bergantung pada kehendak parlemen).
·         Peran parlemen dan eksekutif dibuat seimbang melalui sistem check and balances.

1.      Kelebihan Sistem Pemerintahan Presidensial
  1. Badan eksekutif lebih stabil kedudukannya karena tidak tergantung pada parlemen.
  2. Masa jabatan badan eksekutif lebih jelas dengan jangka waktu tertentu. Misalnya, masa jabatan Presiden Amerika Serikat adalah empat tahun, Presiden Indonesia adalah lima tahun.
  3. Penyusun program kerja kabinet mudah disesuaikan dengan jangka waktu masa jabatannya.
  4. Legislatif bukan tempat kaderisasi untuk jabatan-jabatan eksekutif karena dapat diisi oleh orang luar termasuk anggota parlemen sendiri.
2.      Kekurangan Sistem Pemerintahan Presidensial
  1. Kekuasaan eksekutif diluar pengawasan langsung legislatif sehingga dapat menciptakan kekuasaan mutlak.
  2. Sistem pertanggungjawaban kurang jelas.
  3. Pembuatan keputusan atau kebijakan publik umumnya hasil tawar-menawar antara eksekutif dan legislatif sehingga dapat terjadi keputusan tidak tegas dan memakan waktu yang lama.
b.    Prinsip-prinsip Sistem Presidensial
Menurut Ranney, di negara yang menganut sistem presidensial ketiga jenis kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) secara formal dipisahkan melalui dua macam sarana, yaitu:
a.       Pemisahan jabatan
b.      Sistem control dan keseimbangan (check and balances) antar lembaga negara.

1.      Pemisahan Pejabat atau Larangan Rangkap Jabatan
Berbeda dari sistem parlementer, dalam sistem presidensial rangkap jabatan justru dilarang. Sesuai ajaran trias politika, orang yang sudah menjabat di salah satu cabang kekuasaan tidak boleh menduduki jabatan di cabang kekuasaan yang lain. Seorang anggota parlemen tidak boleh merangkap menjadi menteri, demikian juga sebaliknya.
Larangan rangkap jabatan ini, misalnya, belaku di Amerika Serikat. Di sana, tidak seorang pun dibolehkan meduduki lebih dari satu jabatan dalam ketiga cabang kekuasan yang ada. Seorang jaksa agung yang ingin mencalonkan diri sebagai senator negara bagaian tertentu, misalnya, harus meletakkan jabatannya terlebih dulu sebagai jaksa agung. Jika seorang senator akan menjadi sekretaris negara, ia harus mengundurkan diri dari jabatannya sebagai anggota senat.

2.      Kontrol dan Keseimbangan (check and balances)
Untuk mencegah kemungkinan satu lembaga atau cabang kekuasaan memperbesar kekuasaannya sendiri, masing-masing cabang kekuasaan diberi kekuasaan untuk mengontrol cabang kekuasaan yang lain. Dengan cara itu, posisi masing-masing cabang kekuasaan tetap dalam keseimbangan yang tepat. Di Amerika Serikat, Kongres diberi kekuasaan untuk mengontrol mahkamah agung, dan menahan persetujuan terhadap calon hakim agung. Presiden diberi kekuasaan untuk mengontrol Kongres dengan hak veto atas UU yang telah disetujui Kongres, dan mengontrol mahkamah agung dengan mengajukan calon mahkamah agung. Di lain pihak, mahkamah agung mengontrol Kongres dan presiden melalui kekuasaannya untuk melakukan judicial review.

15 Okt 2010

Sengketa Sipadan dan Ligitan

A. Latar Belakang
Dalam interaksi konflik atau sengketa adalah hal yang lumrah terjadi. Sengketa adalah adanya ketidaksepakatan mengenai masalah hukum atau fakta-fakta atau konflik mengenai penafsiran atau kepentingan antara dua bangsa yang berbeda. Ditinjau dari konteks hukum internasional publik, sengketa dapat didefinisikan sebagai ketidaksepakatan salah satu subyek mengenai sebuah fakta, hukum, atau kebijakan yang kemudian dibantah oleh pihak lain. Berbagai metode penyelesaian sengketa telah berkembang sesuai dengan tuntutan jaman. Metode penyelesaian sengketa dengan kekerasan, misalnya perang, invasi, dan lainnya, telah menjadi solusi bagi negara sebagai aktor utama dalam hukum internasional klasik
Penyelesaian sengketa melalui jalur hukum atau judicial settlement juga dapat menjadi pilihan bagi subyek hukum internasional yang bersengketa satu sama lain. Bagi sebagian pihak, bersengketa melalui jalur hukum seringkali menimbulkan kesulitan, baik dalam urusan birokrasi maupun besarnya biaya yang dikeluarkan. Namun yang menjadi keuntungan penyelesaian sengketa jalur hukum adalah kekuatan hukum yang mengikat antara masing-masing pihak yang bersengketa.
Begitu halnya dengan hubungan antara Indonesia dengan Malaysia. Walaupun antara kedua negara tersebut satu rumpun dan sering melakukan hubungan baik dalam hubungan bilateral maupun multilateral, namun tidak selamanya hubungan itu berjalan lancar, ini dapat dibuktikan dengan adanya berbagai persoalan kedaulatan salah satu diantaranya adalah pada tahun 2002 Indonesia dengan Malaysia terjadi sebuah sengketa. Yang mana di sengketa tersebut hal yang disengketakan adalah tentang batas kedaulatan wilayah antara Indonesia dengan Malaysia mengenai kepemilikan pulau yang ada di perbatas tersebut dan keduanya mengklaim bahwa pulau tersebut adalah masuk batas territorial negaranya baik itu Malaysia maupun Indonesia.
Dalam penyelesaian sengketa ini jalan yang ditempuh oleh kedua negara ini yaitu Indonesia dan Malaysia adalah dengan jalan penyelesaian sengketa Internasional secara damai dan penyelesaiannya secara yudicial di Mahkamah Internasional.
Berangkat dari latar belakang itu lah makalah ini dibuat, agar kita semua mengerti dan paham mengenai keputusan Mahkamah Internasonal tentang status pulau Sipadan dan pulau Ligitan.

B. Indentifikasi Masalah
            Langkah apa yang diambil Malaysia dan Indonesia dalam menyelesaikan sengketa kedaulatan diantara keduanya.

Persoalan mengenai pulau-pulau Sipadan dan Ligitan muncul buat pertama kali pada bulan September 1969 dalam perundingan batas landas kontinen di Kuala Lumpur antara Indonesia dan Malaysia. Pada kesempatan perundingan tersebut Malaysia tanpa diperkirakan, menyatakan kepemilikannya atas kedua pulau tersebut yang terletak di pantai timurlaut pulau Kalimantan dan di bagian baratlaut pulau Sulawesi. Sebaliknya Indonesia juga menuntut bahwa kedua pulau tersebut berada dibawah kedaulatannya.

PEMBAHASAN
A.  FAKTA HUKUM
Untuk lebih jelasnya mengenai fakta hukum mengenai sengketa kedaulatan Pulau Sipadan dan Lingitan ini antara Indonesia dan Malaysia maka perlu diketahui kejelasan dari permasalahan tersebut baik dari para pihak maupun kasus yang disengketakan:

1.      Para Pihak
Indonesia – Malaysia

2.      Kasus Sengketa
Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan karena adanya ketidakjelasan garis perbatasan yang dibuat oleh Belanda dan Inggris yang merupakan negara pendahulu dari Indonesia dan Malaysia di perairan timur Pulau Borneo.

B.  PERMASALAHAN HUKUM
Bila diteliti, kedua negara baik Indonesia maupun Malaysia tidak mempunyai argumentasi hokum yang kuat untuk mendukung tuntutan mereka masing-masing. Kalau diperhatikan Undang-Undang No. 4/Prp/1990 mengenai perairan Indonesia, pulau-pulau sipadan dan ligitan tidak termasuk dalam kepulauan Indonesia. Demikian juga sampai tahun 70-an kedua pulau tidak ada dalam peta Nasional Malaysia. Sambil menunggu penyelesaian melalui perundingan-perundingan, kedua pihak sepakat untuk mengadakan status quo atas permasalahan yang dihadapi sehubungan dengan itu kedua negara pada tanggal 22 September 1969 menyetujui Memorandum of Understanding (MOU) yang menetapkan pulai Sipadan dan Ligitan dalam status quo yang berarti tidak boleh ditempati, diduduki maupun dimanfaatkan baik oleh Indonesia ataupun oleh Malaysia.
Namun, mulai tahun 1979 Malaysia berubah sikap dan mengambil langkah-langkah secara unilateral misalnya dengan menerbitkan peta-peta yang menunjukan kedua pulau sebagai bagian dari Malaysia, memberikan izin kepada sejumlah perusahaan swastanya untuk menyelenggarakan kegiatan pariwisata di pulau Sipadan dan mendirikan instalasi-instalasi listrik di pulau tersebut. Indonesia menganggap bahwa kegiatan-kegiatan tersebut melanggar kesepakatan yang telah dicapai dalam status quo.
Sebelum 1969 kedua  belah pihak menghormati Konvensi 1891 antara Inggris dan Belanda yang menetapkan garis batas 4˚ 10´ Lintang Utara (LU) bagi kedua negara. Indonesia berpendirian bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan yang terletak di sebelah Selatan garis itu merupakan wilayah Indonesia.
Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan untuk pertama kali muncul ketika dilangsungkan perundingan batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysia di Kuala Lumpur pada 9 sampai 22 September 1969, karena Malaysia mengklaim pemilik kedua pulau tersebut.
Indonesia mendasarkan kedaulatan atas kedua pulau itu menurut Pasal IV Konvensi 1891 antara Belanda dan Inggris. Sedangkan Malaysia mendasarkan kepemilikannya menurut dua alur yaitu alur Sultan Sulu/Spanyol/Amerika Serikat/Inggris/Malaysia dan alur Sultan Sulu/Den & Overbeck/BNBC/Malaysia.
Sengketa ini lalu dibicarakan dalam pertemuan antara Presiden Soeharto dan PM Mahathir Muhamad di Yogyakarta pada 1989. Melalui berbagai pertemuan dalam beberapa tahun, kedua belah pihak berkesimpulan sengketa ini sulit untuk diselesaikan secara bilateral.
Karena itu kedua belah pihak setuju untuk mengajukan penyelesaian ini ke Mahkamah Internasional dengan menandatangai “Perjanjian Khusus” (Special Agreement) untuk diajukan ke Mahkamah Internasional dalam Sengketa antara Indonesia dan Malaysia menyangkut kedaulatan atas Pulau Ligitan dan Sipdan, di Kuala Lumpur pada 31 Mei 1997. Melalui surat bersama perjanjian ini kasus sengketa ini disampaikan ke Mahkamah Internasional di Den Haag pada 2 November 1998.
            Pokok-pokok kesepakatan yang dimuat dalam Persetujuan Khusus tersebut adalah:
a.       Meminta dan memberikan kewenangan kepadan Mahkamah untuk menentukan status kepemilikan atas pulau Sipadan dan pulau Ligitan berdasarkan semua bukti yang ada.
b.      Memberikan kewenangan kepada Mahkamah untuk menguji keabsahan tuntutan masing-masing Negara berdasarkan sumber-sumber hokum Internasional yang berlaku sesuai Pasal 38 Statuta Mahkamah.
c.       Penyampaian naskah Special Agreement ke Mahkamah akan dilakukan kedua pihak serentak melalui Joint Notification, setelah masing-masing pihak meratifikasi dan menukarkan naskah ratifikasinya.
Kedua belah pihak mempercayai Mahkamah Internasional akan mengambil keputusan yang adil mengenai siapa yang berdaulat atas kedaulatan Pulau Ligitan dan Sipadan, berdasarkan bukti-bukti yang ada.
Indonesia mendasarkan kedaulatan atas kedua pulau itu menurut Pasal IV Konvensi 1891 antara Belanda dan Inggris. Sedangkan Malaysia mendasarkan kepemilikannya menurut dua alur yaitu alur Sultan Sulu/Spanyol/Amerika Serikat/Inggris/Malaysia dan alur Sultan Sulu/Den & Overbeck/BNBC/Malaysia. Malaysia juga berpendirian bahwa kedaulatannya atas kedua pulau tersebut berdasarkan fakta bahwa Inggris dan kemudian Malaysia sejak 1878 secara damai terus menerus mengadministrasi kedua pulau itu.
Di depan Mahkamah Internasional, untuk membuktikan klaimnya, kedua belah pihak harus memenuhi prosedur, antara lain menyampaikan pembelaan tertulis dan memori, memori banding dan replik. Sampai memasuki tahap penyampaian pembelaan lisan.
Pembelaan lisan terbagi dua, yaitu putaran pertama pada tanggal 3 dan 4 Juni 2002 Indonesia menyampaikan pembelaannya pada dengar pendapat terbuka. Menyusul Malaysia pada tanggal 6 dan 7 Juni. Sedang putaran kedua pada tanggal 10 Juni untuk Indonesia dan pada tanggal 12 Juni jawaban Malaysia. Mengenai cara-cara menyampaikan perkara, batas waktu penyampaian pembelaan tertulis dan lisan tertera dalam Statuta ICJ. Pembelaan lisan ini, sebagai kelanjutan pembelaaan tertulis yang berakhir pada Maret 2000, akan berlangsung sampai 12 Juni 2002.
Pemerintah Indonesia berpendirian bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan wilayah Indonesia. Selain itu, Indonesia tetap mengajukan protes sambil menahan diri untuk tidak melakukan klaim sepihak seperti yang dilakukan Malaysia selama ini atas kedua pulau di lepas pulau Kalimantan tersebut. Demikian salah satu kesimpulan yang diutarakan Menlu saat menyampaikan argumentasi lisan di hadapan hakim pengadilan internasional di Den Haag.
Kendati sedang bersengketa, Hassan menyatakan bahwa hubungan Indonesia dengan Malaysia masih berlangsung dengan sangat baik. “Kembali kepada sisi yang positif, Indonesia memperhatikan bahwa kendati terdapat perbedaan-perbedaan dengan Malaysia, hubungan antara kedua negara tetap berjalan sangat baik dan kedua negara telah bersikap arif untuk menyelesaikan sengketa (Sipadan dan Ligitan) secara bersama kepada yurisdiksi Mahkamah Internasional.
Hassan, selaku pemegang kuasa hukum (Agent) Indonesia dalam kasus sengketa Sipadan dan Ligitan, yaitu bahwa adanya tindakan sepihak Malaysia pada tahun 1979 yang tidak mencerminkan adanya “good faith”, diantaranya dengan cara menerbitkan peta yang memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam wilayah nasionalnya. ”Dan akhirnya dengan membangun sejumlah fasilitas wisata di Sipadan. Tindakan-tindakan ini secara fundamental tidak selaras dengan sikap menahan diri atau ‘status quo’.
Pada tanggal 17 Desember 2002 lalu, Mahkamah Internasional di Den Haag memutuskan, Pulau Sipadan dan Ligitan adalah wilayah Malaysia berdasar kenyataan, Inggris dan Malaysia dianggap telah melaksanakan kedaulatan yang lebih "efektif" atas pulau itu sebelum tahun 1969.
Indonesia menghormati keputusan itu, apalagi karena Pasal 5 Persetujuan 1997 tegas menyatakan, kedua pihak agree to accept the judgement of the Court given pursuant to this Special Agreement as final.

B.1. Pokok-Pokok Putusan Mahkamah Internasional
Putusan Mahkamah dan Pokok-pokok Pertimbangannya mengenai sengketa Indonesia dengan Malaysia tersebut diatas yaitu:
1.                          Menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau sengketa pernah menjadi bagian dari wilayah yang diperoleh Malaysia berdasarkan kontrak pengelolaan privat Sultan Sulu dengan Sen-Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia. Mahkamah juga menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau termasuk dalam wilayah Sulu/Spanyol/AS/Inggris yang kemudian diserahkan kepada Malaysia berdasarkan terori rantai kepemilikan (Chain of Title Theory). Menurut Mahkamah tidak satupun dokumen hukum atau pembuktian yang diajukan Malaysia berdasarkan dalil penyerahan kedaulatan secara estafet ini memuat referensi yang secara tegas merujuk kedua pulau sengketa.
2.                          Menolak argumentasi Indonesia bahwa kedua pulau sengketa merupakan wilayah berada di bawah kekuasaan Belanda berdasarkan penafsiran atas pasal IV Konvensi 1891. Penafsiran Indonesia terhadap garis batas 4° 10' LU yang memotong Pulau Sebatik sebagai allocation line dan berlanjut terus ke arah timur hingga menyentuh kedua pulau sengketa juga tidak dapat di terima Mahkamah. Kejelasan perihal status kepemilikan kedua pulau tersebut juga tidak terdapat dalam Memori van Toelichting. Peta Memori van Toelichting yang memberikan ilustrasi sebagaimana penafsiran Indonesia atas pasal IV tersebut dinilai tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak menjadi bagian dari konvensi 1891. Mahkamah juga menolak dalil alternatif Indonesia mengingat kedua pulau sengketa tidak disebutkan di dalam perjanjian kontrak 1850 dan 1878 sebagai bagian dari wilayah Kesultanan Bulungan yang diserahkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda.
3.                           Penguasaan efektif dipertimbangkan sebagai masalah yang berdiri sendiri dengan tahun 1969 sebagai critical date mengingat argumentasi hukum RI maupun argumentasi hukum Malaysia tidak dapat membuktikan klaim kepemilikan masing-masing atas kedua pula yang bersengketa.
3.1.  Berkaitan dengan pembuktian effectivitiés Indonesia, Mahkamah menyimpulkan bahwa tidak ada bukti-bukti kuat yang dapat mewujudkan kedaulatan oleh Belanda atau Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Begitu pula halnya, tidak ada bukti-bukti dan dokumen otentik yang dapat menunjukkan adanya bentuk dan wujud pelaksanaan kedaulatan Indonesia atas kedua pulau dimaksud hingga tahun 1969. Mahkamah tidak dapat mengabaikan fakta bahwa UU No. 4/Prp/1960 tentang Perairan yang ditetapkan pada 18 Pebruari 1960 -yang merupakan produk hukum awal bagi penegasan konsep kewilayahan Wawasan Nusantara- juga tidak memasukkan Sipadan dan Ligitan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3.2.  Berkaitan dengan pembuktian effectivies Malaysia, Mahkamah menyimpulkan bahwa sejumlah dokumen yang diajukan menunjukkan adanya beragam tindakan pengelolaan yang berkesinambungan dan damai yang dilakukan pemerintah kolonial Inggris sejak 1917. Serangkaian upaya Inggris tersebut terwujud dalam bentuk tindakan legislasi, quasi yudisial, dan administrasi atas kedua pulau sengketa, seperti :
3.2.1.      Pengutipan pajak terhadap kegiatan penangkapan penyu dan pengumpulan telur penyu sejak 1917;
3.2.2.      Penyelesaian sengketa dalam kegiatan pengumpulan telur penyu di Pulau Sipadan pada tahun 1930-an;
3.2.3.      Penetapan Pulau Sipadan sebagai cagar burung, dan
3.2.4.      Pembangunan dan pemeliharaan mercu suar sejak tahun 1962 di Pulau Sipadan dan pada tahun 1963 di Pulau Ligitan.

B.2. Posisi Indonesia dan Belanda
            Dalam melakukan tuntutannya atas Pulau Sipadan dan Ligitan, Indonesia terutama mendasarkan posisinya atas Konvensi antara Belanda dan Inggris pada tahun 1891. Bagi Indonesia Konvensi itu dibuat untuk mengakhiri ketidakpastian perbatasan antara wilayah yang berada dibawah kekuasaan Sultan Bulungan yang kemudian jatuh ke Belanda dan wilayah kekuasaan Sultan Sulu yang kemudian jatuh ketangan Inggris.
            Menurut Pasal IV Konvensi 1891 tersebut :
·         Dari 4˚ 10´ garis lintang dipantai bagian timur tapal batas akan ditarik kearah timur sepanjang garis pararel, melintasi pulau Sebatik: Bagian pulau yang berada di bagian utara garis pararel tersebut British Nort Borneo Company dan bagian sebelah selatan adalah milik Belanda.
Jelaslah sesuai Pasal IV Konvensi 1891 tersebut wilayah dibagian utara garis pararel tersebut berada dibawah kedaulatan Inggris dan dibagian Selatannya dibawah kedaulatan Belanda. Bagi Indonesia garis pararel tersebut merupakan solusi, kompromistik antara wilayah Inggris dan wilayah Belanda di pulau tersebut dan yang dimaksudkan untuk dilanjutkan sampai ke laut sejauh yang diperlukan untuk juga memisahkan pulau-pulau lepas pantai Inggris dan Belanda. Garis parerl yang disepakati dalam Pasal IV Konvensi tersebut betul-betul lewat disebelah utara pulau Sipadan (4˚ 06´ 39˝ Garis Lintang Utara dan 118˚ 37´ 56˝ Garis Lintang Timur) dan juga persis melewati sebelah utara pulau Ligitan (4˚ 09´ 35˝ dan 118˚ 53´lintang Timur)  sehingga menempatkan kedua pulau tersebut dibawah kedaulatan Belanda.
Bagi Indonesia kata melintasi (across) seperti yang tercantum dalam ketentuan Pasal IV Konvensi diartikan bukan saja melintasi daratan pulau Sebatik tetapi juga dapat diteruskan kelaut. Bila garis pararel tersebut diteruskan setelah meninggalkan daratan dan memasuki daerah laut sampai pada suatu titik tertentu maka wajar bila pulau-pulau yang terdapat di bagian sebelah utara garis pararel tersebut berada dibawah kedaulatan Inggris dan yang terdapat dibagian selatan di bawah kedaulatan Belanda. Pulau-pulau Sipadan dan Ligitan memang berada dibawah garis tersebut dan karena itu dibawah kedaulatan Belanda. Sebaliknya Malaysia berpendapat bahwa ketentuan Pasal IV Konvensi hanya mengatur batas-batas daratan pulau Borneo dan sama sekali tidak menentukan batas-batas laut. Bagi Malaysia ketentuan Pasal IV Konvensi itu hanya untuk membagi pulau Sebatik dan tidak ada lain dari itu.
Indonesia juga memperkuat tuntutannya dengan suatu peta tapal batas yang dibuat untuk Parlemen Belanda (Explanatory memorandum map) sebagai bagian dari proses ratifikasi Konvensi 1891. Peta tersebut menggambarkan tapal batas yang sampai kelaut dan menuju kearah Timur dari pulau Sibatik mengikuti garis lintang utara 4 º 10´ ke titik utara dank e timur Sipadan. Peta yang dilampirkan Explanatory memorandum  tersebut dengan jelas mencerminkan pandangan pemerintah Belanda mengenai tapal batas sebagai hasil Konvensi 1891. Keberadaan peta tersebut diketahui oleh Inggris dan menyimpannya di arsip negara.

B.3. Posisi Malaysia
Tuntutan Malaysia atas kepemilikan kedua pulau tersebut didasarkan atas dua argumentasi yang berbeda. Yang pertama adalah atas dasar rantai kepemilikan (Chain of Title) Malaysia memperoleh kedaulatan atas kedua pulau yang dipersengketakan tersebut di dasarkan pada serangkaian perjanjian penyerahan wilayah dari para pendahulunya. Secar kronologis mereka adalah Sultan Sulu, Spanyol, Amerika Serikat dan Inggris. Malaysia menyatakan bahwa dulunya pulau-pulau tersebut merupakan milik Sultan Sulu yang kemudian melalui berbagai perjanjian berpindah tangan ke Spanyol, Amerika Serikat dan Inggris. Kemudian melalui London Agreement  yang ditandatangani di London tanggal 9 Juli 1963 tentang pembentukan Federasi Malaysia, pulau-pulau Sipadan dan Ligitan juga masuk di dalamnya karena berada dibawah kedaulatan Sabah.
Argumentasi kedua yang ditampilkan Malayasia adalah doktrin penguasaan yang efektif kan secara berkesinambungan (effectivités). Malaysia menunjuk berbagai bukti atas kehadirannya yang berkesinambungan dikedua pulau tersebut seperti penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung oleh Pemerintah Inggris, pemungutan pajak atas pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930-an, pengoperasian mercusuar sejak awal 1960-an serta pelaksanaan kegiatan pariwisata semenjak tahun 1980-an.
Sebaliknya Indonesia menolak argumentasi perjanjian-perjanjian penyerahan wilayah dengan menyatakan bahwa tidak ada bukti bahwa Sultan Sulu pernah memiliki pulau-pulau tersebut demikian juga Spanyol tidak mempunyai bukti kedaulatannya atas kedua pulau tersebut.

C.  Teori
Teori mengenai metode penyelesaian sengketa internasional (methods of international settlement disputes) di bagi dua bagian yaitu metode diplomasi dan secara hukum.

1.      Metode Diplomasi (Diplomatic Method)
1.1.  Negosiasi (negotiation)
Negosiasi adalah perundingan yang dilakukan secara langsung antara para pihak dengan tujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui dialog tanpa melibatkan pihak ketiga. Negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa yang paling dasar dan paling tuas digunakan oleh umat manusia. Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB menempatkan negosiasi sebagai cara pertama dalam menyelesaikan sengketa.

1.2.  Pencarian Fakta (fact-finding atau inquiry)
Sengketa yang dihadapi oleh para pihak pada intinya adalah mempersengketakan perbedaan mengenai fakta, maka untuk meluruskan perbedaan tersebut diperlukan campur tangan pihak lain untuk menyelidiki kedudukan fakta yang sebenarnya. Biasanya para pihak tidak meminta pengadilan tetapi meminta pihak ketiga sifatnya kurang formal. Cara ini biasanya ditempuh manakala cara-cara konsultasi atau negosiasi telah dilakukan dan tidak menghasilkan suatu penyelesaian. Dengan cara ini, pihak ketiga akan berupaya melihat suatu permasalahan dari semua sudut guna memberikan penjelasan mengenai kedudukan para pihak.

1.3.  Jasa-Jasa Baik (good offices)
Melibatkan pihak ketiga (third party) yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Pihak ketiga dapat berupa individu atau kelompok (group or individual), negara atau kelompok negara atau organisasi internasional.
Dalam jasa-jasa baik, pihak ketiga terlibat tanpa memainkan peranan yang aktif dalam arti dia tidak ikut secara langsung dalam perundingan-perundingan tetapi hanya menyiapkan dan mengambil langkah-langkah yang perlu agar para pihak yang bersengketa dapat bertemu satu sama lain dan merundingkan sengketanya. Bila para pihak yang bersengketa telah setuju untuk saling bertemu maka berakhir pulalah misi negara yang menawarkan jasa-jasa baiknya tersebut.
Contohnya atas jasa-jasa baik Perancis, Menlu Henry Kissinger mengadakan perundingan dengan Menlu Vietnam Le Duc Tho pada bulan Januari 1973 untuk mengakhiri Perang Vietnam.
Determination made by third party is not binding unless they have so agreed.
Pelaksanaan jasa-jasa baik (good offices) dapat disatukan dengan mediasi (mediation) pelaksanaannya dapat disatukan atau digabungkan, contohnya Kasus Iran (1979) --- kedua belah pihak tidak berbicara secara langsung satu sama lain. Dalam kasus ini Aljazair bertindak sebagai mediator dan menghasilkan Algier Accord sebagai dasar pembentukan “The Iran-USA Claims Tribunal in the Hague (1981)”.

1.4.  Mediasi (mediation)
Melibatkan pihak ketiga (third party) yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Pihak ketiga dapat berupa individu atau kelompok (group or individual), negara atau kelompok negara atau organisasi internasional.
Dalam mediasi, negara ketiga bukan hanya sekedar mengusahakan agar para pihak yang bersengketa saling bertemu, tetapi juga mengusahakan dasar-dasar perundingan dan ikut aktif dalam perundingan, contohnya mediasi yang dilakukan oleh Komisi Tiga Negara (Australia, Amerika, Belgia) yang dibentuk oleh PBB pada bulan Agustus 1947 untuk mencari penyelesaian sengketa antara Indonesia dan Belanda dan juga mediasi yang dilakukan oleh Presiden Jimmy Carter untuk mencari penyelesaian sengketa antara Israel dan Mesir hingga menghasilkan Perjanjian Camp David 1979. Dengan demikian, dalam mediasi pihak ketiga terlibat secara aktif (more active and actually takes part in the negotiation).
Determination made by third party is not binding unless they have so agreed.

1.5.  Konsiliasi (conciliation)
Konsiliasi merupakan suatu cara penyelesaian sengketa oleh suatu organ yang dibentuk sebelumnya atau dibentuk kemudian atas kesepakatan para pihak yang bersengketa. Organ yang dibentuk tersebut mengajukan usul-usul penyelesaian kepada para pihak yang bersengketa (to the ascertain the facts and suggesting possible solution). Rekomendasi yang diberikan oleh organ tersebut tidak bersifat mengikat (the recommendation of the commission is not binding).
Contoh dari konsiliasi adalah pada sengketa antara Thailand dan Perancis, kedua belah pihak sepakat untuk membentuk Komisi Konsiliasi. Dalam kasus ini Thailand selalu menuntut sebagian dari wilayah Laos dan Kamboja yang terletak di bagian Timur tapal batasnya. Karena waktu itu Laos dan Kamboja adalah protektorat Perancis maka sengketa ini menyangkut antara Thailand dan Perancis.

2.      Penyelesaian Sengketa Internasional Dengan Cara Hukum
2.1.  Arbitrase
Arbitrase adalah suatu prosedur penyelesaian sengketa melalui keputusan yang mengikat yang didasarkan atas hukum dan sebagai hasil dari penerimaan secara sukarela (a procedure for the settlement of disputes between states by a binding award on the basis of law and as a result of an undertaking voluntarily accepted).

2.2.  Mahkamah Internasional (International Court of Justice)
Mahkamah Internasional (ICJ) sebagai badan peradilan dunia yang berkedudukan di Den Haag dewasa ini memainkan peranan yang sangat penting di dalam mencegah pertikaian antarnegara. Mahkamah Internasional (ICJ) merupakan kelanjutan dari Mahkamah Tetap Peradilan Internasional (PCIJ) yang dibentuk berdasarkan Pasal XIV Covenant LBB. Pembentukan Mahkamah yang baru ini (ICJ) sama sekali bukanlah berarti bahwa Mahkamah yang lama (PCIJ) gagal dalam menjalankan tugasnya. Terbukti dari tahun 1922 sampai dengan tahun 1940, Mahkamah Tetap (PCIJ) telah memutuskan 31 perkara dan menyampaikan 27 pendapat tidak mengikat (advisory opinion).
Mahkamah Internasional (ICJ) merupakan bagian integral dari PBB. Menurut Pasal 92 Piagam PBB: “Mahkamah Internasional merupakan organ hukum utama PBB”. Karena Mahkamah Internasional merupakan bagian integral dari PBB, maka secara otomatis semua anggota PBB merupakan anggota Statuta Mahkamah Internasional. Hal ini berbeda dengan LBB yaitu Pakta (Covenant) LBB dan Statuta Mahkamah Tetap (PCIJ) merupakan dua naskah yang terpisah sama sekali.

Penyelesaian sengketa yang diambil antara Malaysia dan Indonesia adalah dengan jalan mengambil metode kedua dalam hal metode hukum dengan cara mengajukan persoalan sengketa kepada Mahkamah Internasional.
Bagi sebagian pihak, bersengketa melalui jalur hukum seringkali menimbulkan kesulitan, baik dalam urusan birokrasi maupun besarnya biaya yang dikeluarkan. Namun yang menjadi keuntungan penyelesaian sengketa jalur hukum adalah kekuatan hukum yang mengikat antara masing-masing pihak yang bersengketa.
Selain arbitrase, lembaga lain yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa internasional melalui jalur hukum adalah pengadilan internasional. Pada saat ini ada beberapa pengadilan internasional dan pengadilan internasional regional yang hadir untuk menyelesaikan berbagai macam sengketa internasional. Misalnya International Court of Justice (ICJ), International Criminal Court, International Tribunal on the Law of the Sea, European Court for Human Rights, dan lainnya.
Penyelesaian sengketa internasional melalui jalur hukum berarti adanya pengurangan kedaulatan terhadap pihak-pihak yang bersengketa. Karena tidak ada lagi keleluasaan yang dimiliki oleh para pihak, misalnya seperti memilih hakim, memilih hukum dan hukum acara yang digunakan. Tetapi dengan bersengketa di pengadilan internasional, maka para pihak akan mendapatkan putusan yang mengikat masing-masing pihak yang bersengketa.

C.1. Proses Persidangan Di Mahkamah
Proses hukum acara di Mahkamah dilakukan melalui pendaftaran perkara oleh kedua Negara (2 November 1998), penyampaian argumentasi tertulis dari masing-masing pihak yaitu memorial (2 November 1999), counter memorial (2 Agustus 2000), reply (2 Maret 2002) dan diakhiri dengan penyampaian argument secara lisan/hearing (2-13 Juni 2002).
Ditengah-tengah proses acara tersebut, muncul pula upaya hokum lain yang dilakukan oleh negara ketiga, yaitu permohonan intervensi oleh Filipina (13 Maret 2002) terhadap perkara ini, dengan alas an bahwa perkara ini menyangkut perjanjian-perjanjian yang oleh Filipina merupakan dasar klaimnya terhadap Sabah.Sesuai dengan hukum acara Mahkamah nantinya dapat mempengaruhi kepentingan hukumnya sebagai pihak ketiga. Menurut Filipina, perkara ini ditenggarai akan dikaitkan oleh Malaysia dengan Grant Sultan Sulu (kesultanan yang dahulu berlokasi di wilayah Filipina saat ini) tahun 1878 yang oleh Filipina juga merupakan dasar terhadap klaimnya selama ini versus Malaysia atas wilayah Sabah. Namun, dalam keputusannya pada tanggal 23 Oktober 2001, Mahkamah menolak permohonan intervensi Filipina ini dengan pertimbangan bahwa Filipina tidak berhasil mendefinisikan apa yang menjadi kepentingan hukum Filipina dalam perkara ini yang patut ditengarai akan terkena dampak akibat keputusan Mahkamah.
Akhirnya pada tanggal 17 Desember 2002 Mahkamah Internaional dalam sidangnya telah mengeluarkan keputusannya yaitu bahwa kedua pulau tersebut adalah milik Malaysia berdasarkan pertimbangan bahwa kedua pulau itu telah lama diadministrasikan oleh Inggris dan selanjutnya oleh Malaysia, atau yang dikenal dengan prinsip effectivités.
Setelah kedua negara secara intensif memaparkan sedapat mungkin argumentasi hukumnya yang sama-sama kuat dan juga lemah, para hakim Mahkamah selanjutnya memilih dasar dan alur pertimbangan tersendiri, yaitu memeriksa terlebih dahulu apakah ada akar kepemilikan (original title) berdasarkan dokumen formal (treaty based title) atau dalam bahasa sehari-harinya semacam “sertifikat tanah” yang cukup meyakinkan dari kedua pihak terhadap kedua pulau tersebut, dan jika tidak ada maka Mahkamah akan menoleh kepada asas effectivites, yaitu pihak mana yang lebih efektif mengadministrasikan kedua pulau tersebut. Hal ini sesuai dengan hukum positif tentang territory yang dikembangkan dalam jurisprudensi Mahkamah, yang pada prinsipnya mengatur bahwa jika tidak ada dasar kepemilikan (title) maka asas efektivite perlu dipertimbangkan. Dalam hal ini Mahkamah ternyata tidak menemukan adanya akar kepemilikan baik pada Indonesia yang mengandalkan pada Perjanjian 1891 dan Sultan Bulungan maupun pada Malaysia yang mengandalakan pada berbgai perjanjian pada era kolonial Spanyol dan Amerika Serikat di Filipina.
Dalam hal ini Mahkamah tidak terlalu tertarik dengan argumentasi Indonesia tentang akar kepemilikannya yang didasarkan pada Perjanjian Belanda-Inggris tahun 1891, yang pada Pasal IV menyebutkan bahwa garis batas kedua negara adalah dari garis lintang 4˚ 10´ di pantai timur Pulau Kalimantan terus ke Timur memotong Pulau Sebatik dan menempatkan kedua pulau itu di bawah garis lintang tersebut, yang berarti milik Belanda. Menurut Mahkamah, Perjanjian itu adalah perjanjian darat dan sulit diinterprestasikan sebagai Perjanjian wilayah laut. Sekalipun garis itu melintasi laut maka tidak mungkin melebihi 3 mile seperti yang ditetapkan oleh hukum laut internasional pada waktu itu. Dengan ditolaknya perjanjian ini sebagai perjanjian alokasi laut, maka tidak ada lagi kartu yang dapat diandalkan oleh Indonesia.
Selanjutnya menurut Mahkamah, tidak ada satupun argumentasi mauoun dokumen yang cukup menyakinkan bahwa kedua pulau itu dulunya milik Sultan Sulu atau Sultan Bulungan, artinya, berbeda dengan pendapat kedua pihak, kedua pulau itu sebelum diadministrasikan oleh Inggris atau Malaysia adalah berstatus tanpa pemilik atau terrae nullius. Dalam hukum internasional, wilayah yang belum ada pemiliknya (tidak ada title suatu negara) terbuka untuk dimiliki oleh setiap negara, yang dalam hal ini telah dilakukan oleh Inggris atau pun Malaysia melalui prinsip effectivités. Melalui alur inilah Malaysia dinilai lebih dapat meyakinkan Mahkamah tentang kepemilikannya atas kedua pulau tersebut.
Dalam pertimbangannya tentang prinsip effectivités ini Mahkamah menilai anatara lain bahwa Indonesia tidak pernah menerapkan kekuasaan legislatifnya atas kedua pulau tersebut dan bahkan UU No. 4 tahun 1960 tentang Perairan Indonesia tidak menempatkan kedua pulau tersebut sebagai titik pangkal dalam menarik garis pangkal kepulauan Indonesia. Argumentasi Indonesia tentang patrol kapal patrol Belanda Lynk di perairan itu juga tidak cukup meyakinkan Mahkamah bahwa Belanda memiliki kedaulatan. Demikian juga halnya dengan nelayan tradisional Indonesia yang menurut Indonesia telah lama menangkap ikan di perairan itu, menurut Mahkamah adalah kegiatan individu dan tidak mencerminkan kegiatan public yang dapat menciptakan effectivités.
Berbeda dengan Indonesia, bukti effektivite Malaysia atas kedua pulau tersebut  lebih jelas dan dalam periode yang cukup lama, antar lain, bahwa Malaysia sejak tahun 1917 telah melakukan fungsi legislative atas kedua pulau tersebut misalnya dengan dikeluarkannya Peraturan Perlindungan Penyu, serta mengeluarkan Perizinan untuk menangkap telur penyu. Malaysia juga telah membangun mercusuar di Sipadan dan Ligitan pada tahun 1962 dan 1963 yang terus dipelihara sejak kemerdekaan Malaysia. Kegiatan kedaulatan Malaysia ini menurut pengamatan Mahkamah tidak pernah diprotes oelh Indonesia. Kesemua fakta sejarah ini sudah cukup meyakinkan bahwa Malaysia telah menunjukkan kegiatan berdaulatnya atas kedua pulau tersebut dan sudah cukup membuktikan adanya effectivités untuk syarat kedaualatan suatu negara atas kedua pulau itu.
Keputusan Mahkamah sudah final dan Indonesia melalui Menlu RI telah menyatakan komitmen untuk menerima keputusan tersebut sebagai konsekuensi juridis dari perjanjian khusus (special agreement 1997) kedua Negara yang sepakat untuk membawa masalah ini Mahkamah dan menerima apa pun keputusan Mahkamah.
Dengan keluarnya keputusan ini maka masalah yang tersisa adalah melanjutkan perundingan tentang batas landas kontinen di wilayah laut Kalimantan yang terhenti pada tahun 1969 akibat kasus kedua pulau ini. Dalam kaitan ini, menarik sekali pendapat Hakim Oda dalam deklarasinya yang terlampir dalam Keputusan Mahkamah ini, yang menyebutkan bahwa sebenarnya kedua negara tidak tertarik untuk mengklaim kedua pulau kecil tersebut sampai pada tahun 1960. Dorongan untuk mengklaim kedua pulau ini lebih banyak didasari atas motivasi untuk mengklaim wilayah landas kontinen yang pada waktu itu dirundingkan oleh Konvensi Jenewa 1958 tentang Landas Kontinen yang membuat aturan baru tentang lebar landas kontinen yang diukur dari garis pangkal, yang dalam ini berarti bahwa jika salah satu negara memiliki kedua pulau tersebut maka akan semakin besar wilayah landas kontinen yang diperolehnya.
Upaya Indonesia untuk mengumpulkan bukti serta merumuskan argumentasinya kepada Mahkamah dalam perkara ini sudah cukup baik dan tidak melihat adanya dalil dan argumentasi yang lebih baik dari itu. Kekalahan Indonesia bukan terletak pada lemahnya argumentasi, tetapi bersumber dari:
1.      Indonesia tidak beruntung karena argumentasi garis Konvesi Perjanjian 1891 yang selama ini menjadi “kartu as” Indonesia ternyata tidak menarik perhatian Mahkamah. Hal ini bukan karena lemahnya argumentasi Indonesia tetapi karena pertimbangan juridis yang dipilih oleh Mahkamah berdasarkan hukum internasional positif sangat berbeda dengan yang diharapkan oleh Indonesia. Mahkamah cenderung menempatkan praktik politik negara (effectivités) ketimbang dokumen perjanjian. Aliran ini snagat dikenal dlam system hukum anglo saxon.
2.      Indonesia tidak memiliki bukti sejarah yang memadai untuk memperkuat argumentasinya dalam soal effectivités, kalupun bukti itu ada, bukti Malaysia ternyata lebih meyakinkan. Hal ini bukan karena kesalahan Indonesia karena proses effectivités ini bukan dimulai sejak tahun 1969 melainkan oleh Inggris sudah sejak tahun 1917. Dalam hal ini, apa pun yang dilakukan oleh Indonesia sejak tahun 1969, misalnya menduduki kedua pulau tersebut, tetap tidak akan dapat menghapus effectivités Inggris atau pun Malaysia. Kasus ini merupakan warisan era kolonial, yang dengan keputusan Mahkamah ini telah megurangi beban Indonesia. Di samping itu, tidaklah tepat kiranya bila ada yang berpendapat bahwa Indonesia sudah kehilangan kedua pulau, karena kita tidak mungkin kehilangan sesuatu yang tidak pernah kita miliki. Pulau Sipadan dan pulau Ligitan sebelumnya tidak pernah berada di bawah kedaulatan Indonesia.