22 Mei 2011

Kodifikasi Hukum Laut Internasional

SEJARAH HUKUM LAUT INTERNASIONAL
a.      Hukum Laut Rhodia (abad 7)
Rhodes adalah seorang pelaut, yang kuat serta mandiri. Antara 1.000 SM dan 600 SM, rakyat Rhodes mengembangkan armada komersial yang kuat dan mereka tersebar di daerah Mediterania, serta mendirikan koloni perdagangan di sepanjang pantai barat Italia, Perancis dan SpanyolBetween 1,000 BC and 600 BC, the people of Rhodes developed a strong commercial fleet and they were soon everywhere in the Mediterranean, as well as establishing trading colonies along the west coast of Italy, France and   . Secara bersamaan, orang-orang Rhodes mengembangkan aturan hukum untuk menangani perselisihan pengiriman yang disebut kode hukum maritim (Rhodia Lex). Tidak ada salinan kode hukum maritim pernah ditemukan. Yet Rhodian maritime law survived until the Roman Empire, and adopted by the Romans: it is explicitly mentioned in Book 2, Title 7 of the Roman law text, Opinions of Julius Paulus ( circa 23Namun hukum maritim Rhodian bertahan sampai Kekaisaran Romawi, dan diadopsi oleh bangsa Roma.

            b.      Consolato del Mare (1494)
Sebelum Imperium Romawi berada dalam puncak kejayaan, Phoenicia dan Rhodes mengkaitkan kekuasaan atas laut dengan pemilikan kerajaan atas laut. Pengaruh pemikiran tersebut tidak terlalu besar karena tenggelam dalam perkembangan laut yang didasarkan atas hukum Romawi pada abad pertengahan dimana saat itu tidak ada pihak lain yang menentang kekuasaan mutlak Romawi terhadap Laut Tengah. Laut Tengah pada masa itu seperti danau dalam wilayah Imperium Romawi dan menjadi lautan yang bebas dari gangguan bajak laut sehingga semua orang bebas menggunakan Laut Tengah dengan aman dan sehjatera. Pemikiran hukum yang melandasi sikap Bangsa Romawi terhadap laut adalah bahwa laut merupakan suatu hak bersama seluruh umat (res communis omnium) sehingga penggunaan laut terbuka bagi setiap orang. Di kawasan Laut Tengah sekitar abad ke-14 terhimpun sekumpulan peraturan hukum laut yang dikenal dengan Consolato del Mare yang merupakan seperangkat ketentuan hukum laut yang berkaitan dengan perdagangan (perdata).

c.       Himpunan Rolles d’oleron
The Rolls of OlĂ©ron atau juga dikenal sebagai “Hukum Oleron” dan “Aturan Oleron” adalah koleksi penilaian disusun menjadi kode di akhir abad kedua belas melalui suatu keputusan Eleanor dari Aquitaine, yang digunakan sebagai kode maritim di seluruh Eropa. Ini adalah sumber Hukum Admiralty Inggris. Sekitar 1160  Eleanor dari Aquitaine pergi di pulau Oleron untuk keadilan. Dia juga melakukan laporan hukum, yang kemudian dikodifikasikan untuk mengatur perdagangan maritim. Ini merupakan kode maritim pertama yang sukses besar. Hal ini secara bertahap berkembang menjadi 24 item ke akhir abad kedua belas.

d.      Sea Code of Wisby
Kode hukum laut yang ditetapkan oleh para pedagang dan penguasa kota megah Wisbuy. Kota ini adalah ibukota kuno Gothland, sebuah pulau di laut Baltik. Maylne, dalam koleksi hukum laut, mengatakan bahwa hukum Oleron telah diterjamahkan ke dalam bahasa Belanda oleh rakyat Wisbuy ntuk penggunaan pantai Belanda. Ketentuan dalam Hukum Wisby adalah persis sama dengan yang ditemukan di Hukum Oleron. Namun para penulis utara ini berpura-pura bahwa Hukum Wisby lebih dahulu ada daripada Hukum Oleron atau dari Consolato del Mare.

e.       Hukum Laut Amanna Gappa
Himpunan hukum pelayaran dan perdagangan di Indonesia yang berasal dari Bugis, Sulawesi Selatan. Dimana dalam hukum laut dan pelayaran Amanna Gappa ini memuat dua puluh satu pasal, hal ini merupakan penyempurnaan dari Muhammad Ibnu Badwi yang ditulisnya ketika berada di Gresik.

            Pada tahun 1603, “Santa Catarina”, sebuah kapal Portugis dirampas oleh VOC (di bawah Admiral Jacon van Hemskeerk) di perairan Malaka. Saat itu Belanda sedang terlibat perang dengan Portugis dan Spanyol dalam upaya berebut pengaruh di Asia Tenggara. Portugis meminta supaya Belanda mengembalikan muatan “Santa Catarina” yang antara lain berupa 1200 gulung sutera Cina. Van Hemskeerk tidak memiliki otoritas dari VOC untuk menggunakan kekerasan terhadap kapal-kapal Portugis. Sehingga sebagian pemegang saham kurang setuju dengan pemggunaan kekerasan tanpa kewenangan yang menyertai perampasan “Santa Catarina”. Setelah muncul kontroversi, VOC meminta Hugo Grotius untuk menyusun argumentasi mendukung perampasan Santa Catarina. Grotius membenarkan perampasan terhadap kapal Portugis berdasarkan konsep “Mare Liberum”, yaitu laut  adalah wilayah yang bebas dipergunakan oleh bangsa manapun, tidak bisa dimonopoli oleh suatu negara. Monopoli Portugis di lautan Hindia bertentangan dengan “prinsip keadilan alamiah.”
            Konsep “Mare Liberum” kemudian ditentang oleh Inggris yang saat itu sedang bersaing dengan Belanda untuk menguasai lautan. Inggris kembali menegaskan konsep “Mare Clausum.” Menurut konsep Mare Clausum, laut adalah wilayah yang dpat dimiliki sebagaimana wilayah darat.
Dalam praktik, negara-negara mengambil jalan tengah, yaitu ada bagian laut yang bisa dimiliki dan ada bagian laut lepas. Salah satu gagasan tentang kepemilikan laut didasarkan pada kemampuan penguasaan efektif oleh negara pantai berdsarkan jangkauan tembakan meriam (ketika itu) dari darat, yakni selebar 3 mil. Sejak saat itu, negara-negara mulai mengembangkan Hukum Internasional Kebiasaan di dalam pemanfaatan laut.


UPAYA KODIFIKASI
a.      Konferensi Kodifikasi Den Haag (1930)
            Konferesi Internasioanal pertama yang membahas masalah laut teritorial ialah codification conference (13 Maret – 12 April 1930) di Den Haag, dibawah naungan Liga Bangsa Bangsa, dan dihadiri delegasi dari 47 negara. Konferemsi ini tidak mencapai kata sepakat tentang batas luar dari laut teritorial dan hak menangkap ikan dari negara-negara pantai zona tambahan. Ada yang menginginkan lebar laut teritorial 3 mil (20 negara), 6 mil (12 negara), dan 4 mil.

Setelah perdebatan panjang dan tidak menemukan kata sepakat diantara negara-negara yang bersengketa tentang wilayah maritim, maka PPB yang sebelumnya bernama Liga Bangsa Bangsa melalui Resolusi Majelis Umum PBB tanggal 21 Februari menyetujui untuk mengadakan konferensi Internasional tentang hukum laut pada bulan Maret 1958.

b.      UNCLOS I
Konferensi ini diadakan pada tanggal 24 Februari – 27 April 1958 yang dihadiri oleh 700 delegasi dari 86 negara, yang dikenal dengan UNCLOS I (United Nations Convention on The Law of The Sea) atau konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang hukum laut.
            Pertemuan ini menghasilkan empat konvensi, yaitu:
1.        Konvensi tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan
Memuat hak kedaulatan dan hak lintas melalui laut teritorial, penambahan zona tambahan seluas 12 mil laut dari garis pantai, tapi gagal untuk menetapkan  standar batas laut teritorial. Konvensi ini mulai berlaku sejak 10 September 1964.

2.        Konvensi tentang Laut Lepas
Memuat tentang:
a.       Kebebasan pelayaran
b.      Kebebasan menangkap ikan
c.       Kebebasan meletakkan kabel di bawah laut dan pipa-pipa
d.      Kebebasan terbang di atas laut lepas
Berlaku sejak tanggal 30 September 1962.

3.        Konvensi tentang Perikanan dan Perlindungan Sumber-sumber Hayati di Laut Lepas
Memuat hak-hak negara pantai untuk melindungi sumber daya hayati laut serta memuat langkah-langkah untuk penyelesaian sengketa apabila terjadi. Berlaku sejak tanggal 20 Maret 1966.

4.        Konvensi tentang Landas Kontinen
Memuat rezim yang mengatur perairan dan wilayah udara, peletakan dan pemeliharaan kabel laut atau pipa, rezim yang mengatur navigasi, memancing, penelitian ilmiah dan kompetensi negara pantai  di wilayah ini. Berlaku semenjak tanggal 10 Juni 1964.

c.       UNCLOS II (1960)
Dalam upaya untuk menangani isu-isu yang belum terpecahkan setelah UNCLOS I, Majelis Umum PBB mengadakan Konvensi Kedua tentang Hukum Laut (UNCLOS II).  Konferensi ini berlangsung dari tanggal 17 Maret sampai dengan 26 April 1960. UNCLOS II ini membicarakan tentang lebar laut teritorial dan zona tambahan perikanan, namun masih mengalami kegagalan untuk mencapai kesepakatan, sehingga perlu diadakan konferensi lagi.

d.      UNCLOS III (1982)
Frustasi oleh inkonsistensi dalam rezim pemerintahan laut, duta besar Malta untuk PBB, Arvid Pardo, meminta Majelis Umum untuk mengambil tindakan dan menyerukan “sebuah rezim internasional yang efektif atas dasar laut,” yang jelas-jelas didefinisikan nasioanal yurisdiksi.
Satu bulan kemudian, Majelis Umum mengadopsi resolusi 2467 A (XXIII) dan resolusi 2750 C (XXV), yang melahirkan the Committee on the Peaceful Uses of the Sea-Bed and the Ocean Floor di luar batas yurisdiksi nasional dan menyerukan diadakannya Konferensi ketiga tentang Hukum Laut (UNCLOS III) yang diadakan pada tahun 1973 di New York. Dalam upaya mengurangi kemungkinan kelompok negara atau bangsa mendominasi perundingan, konferensi yang menggunakan proses konsensus dengan suara terbanyak. Dengan lebih dari 160 negara peserta, konferensi ini berlangsung sampai tahun 1982 yang disetujui di Montego Bay, Jamaica pada tanggal 10 Desember 1982 yang ditandatangani oleh 119 negara. Konvensi yang dihasilkan mulai berlaku pada tanggal 16 November 1994, satu tahun setelah negara keenam puluh, Guyana, meratifikasi perjanjian internasional tersebut.
            Konverensi itu berisi 320 artikel dan 9 lampiran. Ini mensintesis dan dibuat berdasarkan perjanjian yang telah dikembangkan di konferensi pertama. Yang memuat sejumlah ketentuan seperti menetapkan batas, navigasi, status kepulauan dan rezim transit, zona ekonomi eksklusif (ZEE), yurisdiksi landas kontinen, penambangan dasar laut dalam, rezim eksploitasi, perlindungan lingkungan laut, penelitian ilmiah, dan penyelesaian sengketa.
Konvensi tersebut menetapkan batas berbagai daerah, diukur dari garis pangkal. Biasanya, sebuah dasar laut mengikuti garis air rendah, tapi ketika garis pantai yang sangat menjorok, memiliki tepi pulau, garis pangkal lurus dapat digunakan. Daerahnya adalah sebagai berikut:
1.      Perairan Dalam
Meliputi semua air dan saluran air pada sisi darat dari garis pangkal. Negara pantai bebas untuk mengatur hukum, mengatur penggunaan, dan penggunaan sumber daya apapun.

2.      Laut Teritorial
Batas luar sampai 12 mil laut dari garis pangkal, negara pantai bebas untuk mengatur hukum, mengatur penggunaan, dan menggunakan sumber daya apapun. Kapal diberi hak lintas damai melalui perairan teritorial, dengan selat strategis memungkinkan perjalanan militer sebagai lintas transit, kapal laut harus memperlihatkan negara bendera di perairan teritorial. "Innocent Passage" didefinisikan oleh konvensi sebagai melewati perairan secara cepat dan berkesinambungan, yang tidak merugikan bagi perdamaian, ketertiban atau keamanan negara pantai. Memancing, polusi, praktek senjata, dan kapal selam serta kendaraan bawah air lainnya diharuskan melakukan navigasi di permukaan dan menunjukkan bendera mereka. Negara pantai juga dapat menangguhkan untuk sementara lintas damai di daerah tertentu dari laut teritorialnya, jika hal itu sangat penting untuk perlindungan keamanannya.

3.      Kepulauan Perairan
Konvensi ini menetapkan definisi Archipelagi Waters dalam Bagian IV, yang juga mendefinisikan bagaimana negara dapat menarik batas teritorial. Dasarnya adalah ditarik antara titik-titik terluar dari pulau terluar, tunduk pada poin yang cukup dekat satu sama lain. Semua perairan di dalam dasar ini ditujukan Archipelagi Waters. Negara memiliki kedaulatan penuh atas perairan ini (seperti perairan dalam), tetapi kapal asing memiliki hak lintas damai melalui perairan kepulauan (seperti perairan teritorial).

4.      Zona Tambahan
Zona yang berbatasan dengan laut teritorial yang jaraknya tidak melebihi 24 mil dari garis pangkal. Kewenangan negara pantai di zona tambahan yaitu dapat melakukan pencegahan pelanggaran-pelanggaran perundang-undangan yang berkenaan dengan masalah beacukai, perpajakan, pengimigrasian, dan kesehatan atau saniter. Serta menghukum pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang disebut sebelumnya.

5.      Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
Zona Ekonomi Eksklusif merupakan suatu daerah atau area yang terletak di luar dan berdampingan dengan laut teritorial. Zona Ekonomi Eksklusif berada di luar wilayah negara atau bukan merupakan wilayah negara. Akan tetapi negara pantai yang bersangkutan memiliki hak-hak dan yurisdikdi-yurisdikdi tertentu. Disamping itu hak-hak dan kebebasan-kebebasan juga dimiliki oleh negara lain pada zona laut ini yang harus dihormati oleh negara pantai.

6.      Landasan Kontinen
Landas kontinen meliputi dasar laut dan tanah dibawahnya diluar laut teritorialyang merupakan lanjutan alamiah dari wilayah daratannya sampai jarak 200 mil laut dari garis pangkal, atau sampai disisi luar dari ketentuan kontinen. Landas kontinen suatu negara boleh melebihi 200 mil laut sampai perpanjangan alami berakhir. Namun, tidak dapat melebihi 350 mil laut dari garis pangkal, atau mungkin tidak akan pernah melebihi 100 mil laut dari garis batas kedalaman 2.500 meter.

Selain dari ketentuan-ketentuan yang menentukan batas-batas laut, konvensi menetapkan kewajiban umum untuk melindungi lingkungan laut dan melindungi kebebasan penelitian ilmiah di laut lepas, dan juga menciptakan suatu rezim hukum inovatif untuk mengendalikan eksploitasi sumber daya mineral di daerah-daerah dasar laut yang di luar yurisdiksi nasional, melalui International Seabed Authority dan Common heritage of mankind principle.

8 Mei 2011

KEPAILITAN

ASAS-ASAS UMUM KEPAILITAN
Pengertian Kepailitan
            Pengertian pailit dapat dihubungkan dengan “ketidakmampuan untuk membayar” dari seorang (debitur) atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan ini disertai dengan suatu tindakan nyata utntuk mengajukan suatu permohonan pernyataan ke pengadilan sebagai suatu bentuk pemenuhan asas “publisitas” dari keadaan tidak mampu membayar dari seorang debitur.
            Dalam Pasal 1 UU Kepailitan, mengatakan bahwa sebelum adanya suatu putusan pernyataan pailit oleh pengadilan, seorang debitur tidak dapat dinyatakan berada dalam keadaan pailit.

Yang Berhak Mengajukan Permohonan Pernyataan Pailit
            Permohonan pernyataan pailit tersebut dapat diajukan oleh:
1.      Debitur sendiri;
2.      Atas permintaan seorang atau lebih krediturnya;
3.      Kejaksaan untuk kepentingan umum;
4.      Dalam hal menyangkut debitur yang merupakan bank, permohonan pernyataan pailit dapat diajukan oleh Bank Indonesia;
5.      Dalam hal menyangkut debitur yang merupakan perusahaan efek permohonan pernyataan pailit dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal.

Pengertian debitur bank mengacu pada UU No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yaitu badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Sedangkan yang dimaksud dengan perusahaan efek adalah pihak yang melakukan kegiatan sebagai penjamin emisi efek, perantara pedagang efek, dan atau manajer investasi, sebagaimana dimaksud dalam UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.

Persyaratan Kepailitan
            Permohonan pailit dapat diajukan, jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Debitur tersebut mempunyai dua atau lebih kreditur, dan
2.      Debitur tersebut tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

Mereka yang Dapat Dinyatakan Pailit
1.      Orang perorangan. Baik laki-laki maupun perempuan, yang telah menikah maupun belum menikah,
2.      Perserikatan-perserikatan dan perkumpulan-perkumpulan tidak berbadan hukum lainnya,
3.      Perseroan-perseroan, perkumpulan-perkumpulan, koperasi maupun yayasan yang bersangkutan berbadan hukum.
4.      Harta peninggalan.

Pengadilan yang Berwenang
            Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitur, dengan ketentuan bahwa:
1.      Jika dibetur telah meninggalkan wilayah RI, pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir dari debitur,
2.      Jika debitur adalah pesero suatu firma, pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut,
3.      Jika debitur tidak bertempat kedudukan dalam wilayah RI tetapi menjalankan profesi atau usahanya dalam wilayah RI, pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum kantor debitur menjalankan profesi atau usahanya,
4.      Jika debitur merupakan badan hukum, pengadilan di mana badan hukum tersebut memiliki kedudukan hukumnya sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya.

Hukum Acara yang Berlaku
            Dalam Pasal 284 (1) UU Kepailitan menyatakan bahwa “kecuali ditentukan lain dengan undang-undang, hukum acara perdata yang berlaku diterapkan pula terhadap Pengadilan Niaga.”

Jangka Waktu Proses Peradilan
            UU Kepailitan memberikan “time-frame” yang jelas untuk setiap permohonan pernyataan kepailitan yang diajukan. Kerangka waktu tersebut dijabarkan secara cukup terperinci dalam Pasal 4, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 287 dan Pasal 288 UU Kepailitan.

Banding dan Kasasi atas Putusan Pengadilan Niaga
            Pada Pengadilan Niaga di tingkat pertama, dan khususnya yang menyangkut permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang, hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.
            Pemeriksaan atas permohonan kasasi pada Mahkamah Agung dilakukan oleh sebuah majelis hakim, yang khusus dibentuk untuk memeriksa dan memeutuskan perkara yang menjadi lingkup kewenangan Pengadilan Niaga.

Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung
            Permintaan peninjauan kembali hanya dapat dilakukan berdasarkan pada dua macam alasan saja, yang masing-masing dibatasi dengan suatu jangka waktu tertentu yang terdapat dalam Pasal 287 (1) dan (2) UU Kepailitan. Alasan tersebut adalah:
1.      Terdapat bukti tertulis baru yang penting, yang apabila diketahui pada tahap persidangan sebelumnya akan menghasilkan putusan yang berbeda (Pasal 286 (2) huruf a. UU Kepailitan), dan
2.      Pengadilan Niaga telah melakukan kesalahan berat dalam penerapan hukum (Pasal 286 (2) huruf b. UU Kepailitan).

Sifat Dapat Dilaksanakan Lebih Dahulu (Uit ver Baar bij Voor Raad)
            Dalam Pasal 6 ayat (5) UU kepailitan menyatakan bahwa putusan atas permohonan pernyataan pailit dapat dijalankan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum, dan Pasal 12 (1) UU Kepailitan yang mewajibkan kurator kepailitan untuk melaksanakan segala tugas dan kewenangannya untuk mengurus dan/atau membereskan harta pailit terhitung sejak putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali.

Pemanggilan Debitur oleh Pengadilan atas Setiap Permohonan Pernyataan Pailit yang Diajukan
            Pada prinsipnya pengadilan harus memperlakukan secara adil setiap permohonan pernyataan pailit yang diterima oleh pengadilan khususnya bagi debitur. Oleh karena itu, sudah selayaknyalah jika pengadilan tidak hanya diwajibkan untuk memanggil debitur atas setiap permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh pihak ketiga melainkan juga atas setiap permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh debitur sendiri.

Sifat Pembuktian Sederhana
            Pasal 6 (3) UU Kepailitan menyatakan bahwa setiap permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi.

Asas Pusblisitas dari Putusan Permohonan Pernyataan Pailit
            UU Kepailitan menekankan pentingnya sifat keterbukaan dari putusan kepailitan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 (5) UU Kepailitan untuk putusan permohonan pernyataan pailit pada tingkat pertama (Pengadilan Niaga), Pasal 10 (4) UU Kepailitan untuk putusan kasasi dan Pasal 289 ayat (2) UU Kepailitan bagi putusan Peninjauan Kembali.

Pemeriksaan Secara Cuma-cuma
            Dimuat dalam Pasal 16 (4) UU Kepailitan yang menyatakan bahwa setiap “Perintah untuk memeriksa perkara kepailitan dengan Cuma-Cuma, berakibat pula pembebasan dari biaya kepaniteraan”.

Pencabutan Permohonan Pernyataan Pailit
            Dalam Pasal 17 UU Kepailitan, ditetapka bahwa setiap penetapan yang memerintahkan dicabutnya kepailitan, harus juga diumumkan dengan cara yang sama seperti putusan pernyataan pailit. Selanjutnya jika setelah diucapkannya pencabutan permohonan pernyataan pailit tersebut, dilakukan lagi pelaporan atau dimajukan lagi permohonan untuk pernyataan pailit.

Penyitaan oleh Kreditur Selama Sidang Berlangsung
            Selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum ditetapkan, setiap kreditur atau kejaksaan dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk:
a.       Meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan debitur, atau
b.      Menunjukkan kuraktor sementara untuk:
1)      Mengawasi pengelolaan usaha debitur,
2)      Mengawasi pembayaran kepada kreditur, pengalihan atau pengagunan kekayaan debitur dalam rangka kepailitan memerlukan persetujuan kurator.

Harta Pailit
            Harta pailit adalah harta milik debitur yang dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan. Khusus nbagi individu atau debitur perorangan yang dinyatakan pailit, seluruh akibat dari pernyataan pailit tersebut yang berlaku untuk debitur pailit juga berlaku bagi suami atau istri yang menikah dalam persatuan harta dengan debitur pailit tersebut. Ini berarti bahwa kepailitan juga meliputi seluruh harta kekayaan dari pihak suami atau istri debitur perorangan dari debitur yang dinyatakan pailit.

Kebendaan yang Berada di Luar Harta Pailit
a.       Barang-barang yang disebut dalam Pasal 451 No. 2 sampai 5 dan Rglemen Acara Perdata, uang-uang atau gaji-gaji tahunan yang disebutkan dalam Pasal 749 huruf c,
b.      Segala apa yang diperoleh debitur pailit dengan pekerjaannya sendiri, atau sebagai penggajian untuk suatu jabatan atau jasa atau sebagai upah, pensiun, uang tunggu atau uang tunjangan, selama kepailitan, demikian itu apabila dan sekedar ditentukan oelh Hakim Pengawas,
c.       Segala uang yang diberikan kepada debitur pailit untuk memenuhi suatu kewajiban memberi nafkah menurut UU,
d.      Suatu jumlah yang ditentukan oleh Hakim Pengawas dari pendapatan hak nikmat-hasil sebagaimana dimaksudlkan dalam Pasal 311 KUHPerdata,
e.       Tunjangan yang oleh debitur pailit, berdasarkan Pasal 318 KUHPerdata.

Hak dan Kedudukan Istri atas Kepailitan Suami
            Pasal 60 mengatur mengenai masalah hak yang dimiliki oleh seorang istri atas kepailitan suaminya. Pasal 61, istri tidak diperkenankan untuk memajukan tuntutan terhadap harta pailit, guna menuntut keuntungan-keuntungan yang diperjanjikan dalam perjanjian kawin.
            Kepailitan seorang suami atau istri yang kawin dalam suatu persatuan-harta diperlakukan sebagai kepailitan persatuan tersebut. Kepailitan tersebut meliputi segala benda yang jatuh dalam persatuan, sedangkan kepailitan adalah untuk kepentingan semua orang berpiutang yang berhak meminta pembayaran dari benda-benda persatuan.

AKIBAT HUKUM PERNYATAAN PAILIT
            Kepailitan mengakibatkan debitur yang dinyatakan pailit kehilangan segala “hak perdata” untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang telah dimsukkan ke dalam harta pailit.
            Pada prinsipnya, setiap dan seluruh perikatan antara debitur yang dinyatakan pailit dengan pihak ketiga yang dilakukan sesudah pernyataan pailit, tidak akan dan tidak dapat dibayar dari harta pailit, kecuali bila perikatan-perikatan tersebut mendatangkan keuntungan bagi harta kekayaan itu.

a.      Akibat Kepailitan terhadap Perikatan-perikatan yang Telah Dibuat oleh Debitur Sebelum Pernyataan Pailit Diucapkan
Pasal 1234 KUHPerdata membagi perikatan ke dalam:
1.      Perikatan yang melahirkan kewajiban untuk memberikan sesuatu,
2.      Perikatan yang melahirkan kewajiban untuk berbuat sesuatu,
3.      Perikatan yang melahirkan kewajiban untuk tidak berbuat sesuatu.

Ilmu Hukum menggolongkan perikatan ke dalam perikatan sepihak dan perikatan timbal balik. Dikatakan perikatan sepihak, jika perikatan tersebut hanya melahirkan kewajiban atau prestasi pada salah satu pihak dalam perikatan, tanpa melahirkan kewajiban atau kontra prestasi dari pihak lainnya. Sedangkan perikatan timbal balik jika perjanjian tersebut menerbitkan kewajiban bagi para pihak dalam perjanjian untuk melaksanakan suatu prestasi satu terhadap yang lainnya secara bertimbal balik.
Berdasarkan pada objek dari prestasi yang wajib dipenuhi, dibedakan ke dalam:
1.      Prestasi yang hanya dapat dilaksanakan oleh debitur sendiri, dan
2.      Prestasi yang dapat dilaksanakan oleh pihak manapun juga dalam kapasitasnya sebagai wakil atau kuasa dari debitur.

Pembatalan dan Batal Demi Hukum
            Perikatan-perikatan yang sedang berlangsung, dimana terdapat satu atau lebih kewajiban yang belum dilaksanakan oleh debitur pailit, sedang putusan pernyataan pailit telah diucapkan, maka demi hukum perikataan tersebut menjadi batal, kecuali jika menurut pertimbangan kurator masih dapat dipenuhi dari harta pailit.
            UU Kepailitan juga memberikan hak kepada pihak kreditur dan/atau pihak-pihak lainnya yang berkepentingan untuk memintakan permohonan pembatalan atas perbuatan-perbuatan hukum debitur pailit, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, yang bersifat merugikan, baik harta pailit secara keseluruhan maupun terhadap kreditur konkuren tertentu.
           
Pembatalan Perjanjian
            UU Kepailitan memberikan hak “secara adil”, baik kepada kurator maupun kreditur untuk nenbatalkan perjanjian dan/atau perbuatan hukum debitur pailit yang dilakukan sebelum pernyataan pailit diputuskan namun belum sepenuhnya diselesaikan pada saat pernyataan pailit dikeluarkan. Bahkan kurator maupun tiap-tiap kreditur yang berkepntingan, berhak untuk meminta pembatalan atas suatu perbuatan hukum yang telah selesai dilakukan sebelum pernyataan pailit diucapkan. Hanya perbuatan hukum yang tidak wajib dilakukan yang dapat dibatalkan.

Actio Paulina
            Actio Paulina merupakan terobosan terhadap sifat dasar perjanjian yang hanya berlaku dan mengikat di antara pihak-pihak yang membuatnya terdapat dalam Pasal 1340 (1) KUHPerdata, yaitu memberikan hak kepada kreditur untuk mengajukan pembatalan atas setiap tindakan hukum yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh debitur, dengan nama apa pun yang merugikan kreditur.
            Secara implisit KUHPerdata mengakui adanya dua macam tindakan hukum yang tidak diwajibkan tersebut, yaitu tindakan hukum yang dilakukakan atau lahir sebagai akibat dari suatu perjanjian yang bertimbal balik dan tindakan hukum yang bersifat sepihak.
            Dalam Pasal 46 mengatur mengenai pembayaran utang yang telah dilakukan oleh debitur pailit kepada kreditur, menentukan bahwa:
1.      Dapat dibuktikan bahwa pada saat pembayaran dilakukan kreditur tersebut mengetahui bahwa pernyataan pailit atas debitur sudah diajukan ke pengadilan,
2.      Apabila pembayaran tersebut adalah akibat dari suatu perundingan antara debitur pailit dan kreditur, yang dimaksudkan untuk, dengan memberikan pembayaran itu, memberikan keuntungan kepada kreditur ini yang melebihi kreditur-kreditur lainnya.

Akibat Kepailitan terhadap Perbuatan Hukum Sepihak yang Tidak Diwajibkan
·         Hibah
Hibah yang dikatakan debitur dapat dimintakan pemabatalannya apabila kurator dapat membuktika bahwa pada saat hibah tersebut dilakukan, debitur mengetahui atau patut mengetahui bahwa tindakan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi debitur.
·         Pembayaran yang tidak diwajibkan
Pemabayaran suatu utang yang dapat ditagih oleh debitur hanya dapat dimintakan pembatalannya, apabila dibuktikan bahwa si penerima pembayaran mengetahui bahwa pernyataan pailitnya si berutang sudah dimintakan atau pelaporan untuk itu telah dimasukkan.

Akibat Hukum Kepailitan terhadap Perjanjian Timbal Balik yang Dibuat oleh Debitur Pailit
·         Perjanijan dagang dengan penetapan waktu
Salah satu bentuk perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang dibuat dengan penetapan waktu, dimana salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian diwajibkan untuk melaksanakan satu atau lebih prestai dalam suatu jangka waktu tertentu yang telah ditetapkan.
·         Perjanjian dengan kewajiban untuk menyerahkan barang
Suatu perjanjian dagang dengan prestasi untuk menyerahkan barang dagangan yang biasa diperdagangkan, dimana penyerahan barang-barang tersebut akan dilaksanakan pada suatu waktu tertentu, maka dengan pernyataan pailit ini persetujuan yang bersangkutan batal demi hukum, dan pihak lawan dapat mengajukan diri sebagai kreditur konkuren.
·         Perjanjian sewa menyewa
Perjanjian sewa menyewa dengan uang muka jika uang muka sewa telah dibayar, maka perjanjian sewa tersebut tidak dapat dihentikan, kecuali menjelang hari berakhirnya pembayaran di muka jangka waktu tersebut. Sedabgkan sewa menyewa pada umumnya, baik kurator maupun pihak yang menyewakan barang berhak untuk menghentikan sewa tersebut, dengan memerhatikan ketentuan yang berlaku mengenai penghentian dipercepat yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
·         Perjanjian Kerja
Pernyataan pailit memberikan hak kepada karyawan yang bekerja pada debitur pailit dan/atau kurator untuk meminta pemutusan hubungan kerja (PHK), dengan mengindahkan ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
·         Warisan yang terbuka
UU memberikan ketentuan khusus atas segala warisan yang jatuh kepada debitur pailit selama kepailitan berlangsung.

Pengembalian Harta benda yang Telah Diserahkan sebagai Akibat Pembatalan Perbuatan yang Telah Dilakukan oleh Debitur Pailit Sebelum Pernyataan Pailit Diucapkan
            Pembatalan dari perbuatan hukum debitur pailit yang dilakukan olehnya sebelum pernyataan pailit dikeluarkan, pembatalan tersebut akan mengembalikan posisi debitur pailit (harta pailit) dan/atau lawan pihak dalam perbuatan hukum tersebut ke dalam kedudukan mereka semula, sebelum perbuatan hukum tersebut dilaksanakan, seolah-olah perbuatan hukum tersebut tidak pernah dilakukan sama sekali.

Pengembalian Harta Kekayaan Debitur Pailit
Pasal 50 (1) UU Kepailitan secara tegas menyatakan bahwa segala sesuatu yang telah diberikan oleh debitur pailit dari harta kekayaannya sebelum pernyataan pailit diumumkan dengan dibatalkannya perbuatan hukum tersebut, harus dikembalikan oleh pihak yang menerima kebendaan tersebut, yaitu mereka yang terhadapnya ditujukan tuntutan pembatalan.

Pengembalian Kebendaan dari Harta Pailit
Pembatalan dapat dimintakan tidak hanya untuk perbuatan hukum yang hanya bersifat sepihak saja melainkan juga yang bertimbal balik. Ini berarti setiap pembatalan atasbperbuatan hukum yang bertimbal balik tersebut akan mengakibatkan juga pengembalian kebendaan dari harta pailit.

Hak Retensi
Pasal 59 menyatakan bahwa hak retensi atau hak yang diberikan kepada kreditur untuk menahan kebendaan milik debitur hingga dibayarnya utang tersebut oleh debitur tidak hapus dengan diucapkannya pernyataan pailit.

Akibat Hukum Perdamaian Terhadap Kepailitan
Dengan disahkannya suatu perdamaian yang berarti berakhirnya demi hukum suatu kepailitan akan mengakibatkan gugurnya tuntutan-tuntutan hukum yang bertujuan untuk meminta pembatalan dan pengembalian atas segala kebendaan yang telah diberikan oleh debitur pailit sebelum pernyataan pailit diumumkan. Dengan ketentuan bahwa jika perdamaian itu berisi suatu pelepasan harta pailit, maka hak untuk melakukan tuntutan pembatalan dan pengembalian tersebut tetap ada.

Kepailitan dan Gugatan yang Sedang Berlangsung di Pengadilan
Kurator akan mewakili debitur pailit dalam segala hal yang berhubungan dengan pemberesan dan pengurusan harta pailit, termasuk di dalamnya mewakili debitur pailit dalam setiap gugatan yang diajukan baik oleh maupun terhadap pihak ketiga untuk dan atas nama debitur pailit. Bila tuntutan-tuntutan hukum tersebut diajukan atau dilanjutkan oleh atau terhadap debitur pailit dan bukan oleh kurator, maka jika tuntutan-tuntutan tersebut mengakibatkan penghukuman kepada debitur pailit, penghukuman itu tidak mempunyai kekuatan hukum terhadap harta kekayaan yang telah dinyatakan pailit. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 24 (2), Pasal 26 serta Pasal 27 UU Kepailitan.
Kepailitan dan Pelaksanaan Putusan Hakim
Dalam Pasal 32 (1) UU Kepailitan menyatakan bahwa dengan dikeluarkannya pernyataan pailit maka semua putusan hakim yang telah dijatuhkan sebelum pernyataan pailit dikeluarkan, sepanjang yang menyangkut bagian dari harta pailit harus segera dihentikan pelaksanaannya, dan terhitung sejak saat itu pula setiap putusan yang berakibat dikenakannya hukuman paksaan badan kepada debitur pailit harus dinyatakan tidak dapat dilaksanakan. Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa segala putusan mengenai penyitaan, baik yang sudah maupun yang belum dilaksanakan, dibatalkan demi hukum, dan jika dianggap perlu maka Hakim Pengawas berhak menegaskan hal tersebut dengan memerintahkan pencoretan penyitaan tersebut dan debitur yang sedang dipenjara harus dilepaskan seketika setelah keputusan pailit memperoleh kekuatan mutlak.

Surat-surat Perintah Kepada Pembawa dan Atas Tunjuk
Khusus untuk pemegang surat perintah pembayaran atas bawa dan atas tunjuk yang telah menerima pemabayaran, dibebaskan dari kewajiban untuk mengembalikan pembayaran yang telah diterima kepada harta pailit. Kewajiban untuk pengembalian tersebut dibebankan kepada pihak yang telah menerbitkan surat perintah pembayaran tersebut, jika dapat dibuktikan bahwa pada saat surat perintah pembayaran tersebut dikeluarkan dengan iktikad tidak baik.

Pemabayaran kepada Debitur Pailit
     Pasal 51 (1) UU Kepailitan menyatakan bahwa debitur, atas harta pailit, yang setelah pernyataan pailit diucapkannya tetapi sebelum pernyataan tersebut diumumkan, telah melakukan pembayaran kepada debitur pailit untuk memenuhi perikatan-perikatan yang terbit sebelum pernyataan pailit di ucapakan, dibebasakan dari kewajiban terhadap harta pailit, kecuali dapat dibuktikan bahwa ia mengetahui akan adanya pernyataan pailit itu.
     Sedang jika pembayaran dilakukan setelah pernyataan pailit diumumkan, maka debitur tersebut tidak dibebaskan dari kewajibannya terhadap harta pailit, selama ia tidak dapat membuktikan bahwa pengumuman mengenai pernyataan pailit yang dilaksanakan menurut ketentuan atau perundang-perundangan tidak mungkin dapat diketahui olehnya di tempat tinggalnya.


b.      Perjumpaan Utang
Perjumpaan utang merupakan salah satu alasan hapusnya perikatan. Dalam Pasal 1425 KUHPerdata jo Pasal 1426 dikatakan bahwa jika antara dua orang saling berutang maka terjadilah perjumpaan utang di antara mereka, yang menghapuskan utang-utang yang ada di antara mereka, pada saat itu secara timbal balik untuk suatu jumlah yang sama. Ketentuan ini tidak menutup kemungkinan terjadinya perjumpaan utang antara seorang penanggung atas utang pihak yang ditanggungnya dengan kreditur utang tersebut.
Perjumpaan utang merupakan sesuatu peristiwa yang terjadi demi hukum, bahkan dapat terjadi tanpa persetujuan dari suatu atau ke dua belah pihak dalam perjumpaan. Bahkan adanya penundaan pembayaran yang telah diputuskan dan berkekuatan hukum tetap pun tidak dapat menghalangi terjadinya perjumpaan utang.

Tata Cara Perhitungan Piutang yang Diperjumpakan
            Seperti yang ditetapkan dalam Pasal 126 dan Pasal 127, sebagai berikut:
1.      Tiap piutang yang lahir dari perjanjian dengan syarat batal, maka pencocokannya diperhitungkan sejumlah harta pada saat pernyataan pailit itu diucapkan,
2.      Bila kurator dan para kreditur tidak memperoleh kesepakatan dalam cara pencocokannya, maka piutang tersebut dapat diakui dengan bersyarat untuk jumlah keseluruhannya,
3.      Bagi piutang yang saat penagihannya masih belum dapat ditentukan atau yang memberikan hak untuk dilangsur secara berkala, dalam pencocokannya dihitung jumlah harganya pada hari pernyataan pailit itu diputuskan,
4.      Piutang-piutang yang saat penagihannya jatuh tempo dalam waktu satu tahun terhitung sejak kepailitan, dalam pencocokannya dihitung seakan-akan piutang tersebut dapat ditaguh pada saat itu pula.
5.      Dalam melaksanakannya perhitungan tersebut di atas harus dengan saksama dengan memerhatikannya saat dan cara pengangsuran piutang, pemanfaatan keuntungan-keuntungan yang ada, termasuk bunga yang dihasilkan dari piutang tersebut.

Perjumpaan Utang dalam Rangka Pembubaran Persatuan Harta karena Kepailitan
            Khusus jika terjadi pembubaran persatuan harta, setiap orang yang dengan debitur pailit terikat dalam persatuan harta tersebut berhak untuk menjumpakan bagian keuntungan, pada waktu pembagian harta diadakan seharusnya menjadi bagian milik debitur pailit dengan utang-utang harta persatuan yang merupakan kewajiban dari debitur pailit.


c.       Eksekusi Terhadap Harta Pailit
Hak atas Jaminan yang Bersifat Preferens
            Hak-hak tersebut adalah:
1.      Hak gadai atas kebendaan yang bergerak, baik berwujud maupun tidak berwujud,
2.      Hipotek atas kebendaan tidak bergerak bukan tanah, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.
Dengan adanya UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, maka hak preferens tersebut secara formal bertambah dua dengan Hak Tanggungan, yang merupakan hak jaminan preferens atas tanah dan kebendaan yang melekat diatasnya yang merupakan pengganti ketentuan mengenai hipotek dan credit verband yang telah dihapuskan.

Eksekusi atas Jaminan Preferens
            Tiap-tiap  kreditur yang memegang hak tanggungan, hak gadai atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Ini berarti UU Kepailitan secara tegas mengatakan bahwa pernyataan kepailitan tidak mengahalangi pelaksaanan hak preferens yang diberikan oleh undang-undang.

Penangguhan Pelaksanan Eksekusi
            Penjelasan Pasal 56A (1) menyebutkan bahwa penangguhan dilakukan dengan tujuan antara alain untuk memperbesar kemungkinan tercapainya perdamiaan, atau untuk memperbesar kemungkinan mengoptimalkan harta pailit atau untuk memungkinkan kurator melaksanakan tugasnya secara optimal.
            Selama berlangsungnya jangka waktu penangguhan, segala tuntutan hukum untuk memperoleh pelunasan atas suatu piutang tidak dapat diajukan dalam sidang badan peradilan, dan baik kreditur maupun pihak ketiga yang dimaksud dilarang mengeksekusi atas memohonkan sita atas barang yang menjadi agunan.

Hak Kreditur untuk “Melawan” Penangguhan Eksekusi
            Terhadap penangguhan yang ditetapkan oleh kurator, kreditur diberikan izin untuk secara berturut-turut:
1.      Mengajukan permohonan kepada kurator untuk mengangkat penangguhan atau mengubah syarat-syarat penangguhan tersebut,
2.      Jika kurator menolak permohonan tersebut, pihak kreditur dapat mengajukan permohonan penangguhan atau perubahan terhadap syarat-syarat penangguhan tersebut kepada Hakim Pengawas,
3.      Terhadap putusan Hakim Pengawas, kreditur yang mengajukan permohonan tersebut, atau kurator dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan.

Jangka Waktu “Perlawanan” Penangguhan Eksekusi
            Sebagai suatu proses peradilan yang singkat dan cepat, dan guna menciptakan kepastian hukum, UU Kepailitan kembali memberikan “constraint” waktu yang tegas mengenai pengajuan “perlawanan” atas penangguhan yang diberikan oleh kurator.

Pertimbangan-pertimbangan
            Hakim Pengawas harus mempertimbangkan hal-hal:
a.       Lamanya jangka waktu penangguhan yang sudah berlangsung,
b.      Perlindungan terhadap kepentingan para kreditur,
c.       Kemungkinan terjadinya perdamaian,
d.      Dampak penangguhan tersebut atas kelangsungan usaha dan manajemen usaha debitur serta pemberesan harta pailit.

Putusannya dapat berupa
1.      Diangkatnya penangguhan untuk satu atau lebih kreditur, dan/atau
2.      Penetapan persyaratan tentang lamanya waktu penangguhan, dan atau
3.      Pelaksanaan eksekusi atas satu atau beberapa agunan oleh kreditur,
4.      Jika Hakim Pengawas menolak untuk mengangkat atau mengubah persyaratan penangguhan tersebut, maka Hakim Pengawas wajib memerintahkan agar kurator memebrikan perlindungan yang dianggap wajar untuk melindungi kepentingan kreditur pemohon.

Berakhirnya Penangguhan Secara Hukum
            Pasal 56 (4) menyatakan bahwa penangguhan secara hukum berakhir karena:
1.      Berakhirnya kepailitan secara lebih awal, karena terjadinya perdamaian,
2.      Dimulainya keadaan insolvensi (tidak mampu membayar) oleh debitur pailit.

Pelaksanaan Eksekusi oleh Kreditur Preferens
            Pasal 57 (1) menyatakan bahwa eksekusi hak preferens oleh kreditur terhadap jaminan yang ada, wajib dilaksanakan dalam jangka waktu selambat-lambatnya dua bulan terhitung sejak keadaan insolvensi berlangsung. Setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), kurator harus menuntut diserahkannya kebendaan yang dijaminkan untuk dijual, tanpa mengurangi hak pemegang hak tersebut untuk memperoleh hasil penjualan agunan tersebut.
            Kecuali untuk pemegang hak angunan atas panenan, kreditur yang melaksanakan eksekusi kebendaan jaminan wajib melaporkan dan mempertanggungjawabkan seluruh hasil penjualan jaminan tersebut kepada kurator, dan menyerahkan kepada kurator sisa hasil penjualan setelah dikurangi dengan jumlah utang yang harus dibayar, bunga dan biaya-biaya.