15 Apr 2011

ANTIMONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

I.          Beberapa Pengertian
Dalam pasal 1 butir (1) UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, monopoli adalah penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran abarang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.
Pasal 1 butir (2), praktik monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan/atau pemasaran atas barang dan/atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan nisa merugikan kepentingan umum.
Pasal 1 butir (3), pemusatan kekuatan ekonomi adalah penguasaan yang nyata atas suatu pasar bersangkutan oleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat menentukan harga barang dan/atau jasa.
Pasal 1 butir (6), persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.

II.       Asas dan Tujuan
Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat memuat asas demokrasi ekonomi dengan memerhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan.
Sedangkan tujuannya adalah:
a.       Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
b.      Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha kecil, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha besar,
c.       Mencegah praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang timbulkan oleh pelaku usaha,
d.      Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

III.               Ruang Lingkup UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
1)      Perjanjian yang Dilarang
Ketentuan Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 UU tersebut telah menetapkan jenis-jenis perjanjian yang dapat menimbulkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat sehingga antara pelaku usaha yang satu dengan lainnya dilarang untuk membuatnya.

2)      Kegiatan yang Dilarang
Kegiatan-kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat juga dilarang UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
3)      Posisi Dominan
Dalam ketentuan Pasal 25 (2) UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat juga dilarang ditentukan bahwa pelaku usaha memiliki potensi dominan apabila memenuhi kriteria di bawah ini:
a.       Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang dan/atau jasa tertentu.
b.      Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang dan/jasa tertentu.

4)      Komisi Pengawas Persaingan Usaha
1.      Tugas Komisi Pengawas Persaingan Usaha
a.       Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16.
b.      Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan/atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24.
c.       Melakukan penilaian terhadap ada atau tidaknya posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 28.
d.      Mengambil tindakan sesuai dengan wewenang komisi sebagaimana diatur Pasal 36.
e.       Memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
f.       Menyusunan pedoman dan/atau publikasi yang berkaitan dengan Undang-Undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
g.       Memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja komisi kepada presiden dan DPR.

2.      Wewenang Komisi Pengawas Persaingan Usaha
a.       Menerima laporan dari masyarakat dan/atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
b.      Melakukan penelitian tentang adanya kegiatan usaha dan/atau tindakan pelaku usaha yang mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
c.       Melakukan penyelidikan dan/atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditentukan oleh komisi sebagai hasil dari penelitiannya.
d.      Menyimpulkan hasil penyelidikan dan/atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
e.       Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan UU ini.
f.       Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan UU Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
g.       Meminta bantuan penyelidik untuk menghadirkan pelaku utama, saksi, saksi ahli atau setiap orang yang bersedia memenuhi panggilan komisi.
h.      Meminta keterangan dari instansi pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan/atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan UU Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
i.        Mendapatkan, meneliti, dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan.
j.        Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat.
k.      Memberitahukan peraturan komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
l.        Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UU Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

IV.          Penegakan Hukum
Penegakan hukum dilaksanakan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang mempunyai kewenangan di bidang penegakan hukum, termasuk kewenangannya di bidang penyelidikan alat bukti, penyidikan, dan pemeriksaan perkara.
Sanksi yang dikenakan kepada pelaku usaha yang mealnggar ketentuan UU tersebut berupa:
a.       Tindakan administratif,
b.      Pidana pokok, dan
c.       Pidana Tambahan.

PERLINDUNGAN KONSUMEN

          Dalam kegiatan bisnis terdapat hubungan yang saling membutuhkan antara pelaku usaha dan konsumen. Konsumen biasanya berada dalam posisi yang lemah dan karenanya dapat menjadi sasaran eksploitasi dari pelaku usaha yang secara sosial dan ekonomi mempunyai posisi kuat.

1.      Beberapa Pengertian
Menurut UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Sedangkan konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. (Pasal 1 UUPK)
Yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah asetiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum RI, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang usaha ekonomi.

2.      Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Dalam ketentuan Pasal 2 UUPK ditentukan bahwa perlindungan konsumen berasaskan:
a.       Asas manfaat,
b.      Asas keadilan,
c.       Asas keseimbangan,
d.      Asas keamanan dan keselamatan konsumen,
e.       Asas kepastian hukum.

Sedangkan tujuan dari perlindungan konsumen tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
b.      Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkan dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
c.       Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
d.      Menetapkan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
e.       Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
f.       Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

3.      Hak dan Kewajiban Konsumen
Dalam UUPK di atur hak dan kewajiban konsumen, yaitu:
1)      Hak konsumen adalah:
a.       Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/tau jasa.
b.      Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
c.       Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
d.      Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.
e.       Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan konsumen, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
f.       Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
g.       Hak untuk diperlukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
h.      Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian jika barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian dan tidak sebagaimana mestinya.
i.        Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lain.

2)      Kewajiban konsumen adalah:
a.       Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.
b.      Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
c.       Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
d.      Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

4.      Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
1)      Hak pelaku usaha:
a.       Hak menerima pemabayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
b.      Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
c.       Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
d.      Hak untuk rehabilitasui nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
e.       Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

2)      Kewajiban pelaku usaha:
a.       Beritikad baik dalam kegiatan usahanya.
b.      Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan, penggunanan, perbaikan, dan pemeliharaan.
c.       Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
d.      Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksikan dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
e.       Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.
f.       Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
g.       Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian bila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

5.      Perbuatan yang Dilarang bagi Pelaku Usaha
1.      Larangan bagi pelaku usaha yang berhubungan dengan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan,
2.      Larangan bagi pelaku usaha yang berhubungan dengan kegiatan menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak dan/atau seolah-olah,
3.      Larangan bagi pelaku usaha yang berhubungan dengan kegiatan menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak dan/atau menyesatkan,
4.      Larangan bagi pelaku usaha yang berhubungan dengan penjualan melalui cara obral atau lelang yang mengelabui atau menyesatkan konsumen,
5.      Larangan bagi pelaku usaha yang berhubungan dengan kegiatan menawarkan, mempromosikan, mengiklankan dengan jumlah tertentu,
6.      Larangan bagi pelaku usaha yang berhubungan dengan kegiatan menawarkan, mempromosikan, mengiklankan dengan janji,
7.      Larangan bagi pelaku usaha yang berhubungan dengan kegiatan menawarkan dengan cara paksa,
8.      Larangan bagi pelaku usaha yang berhubungan dengan kegiatan menawarkan barang secara pesanan,
9.      Larangan bagi pelaku usaha yang berhubungan dengan usaha periklanan,
Larangan bagi pelaku usaha yang berhubungan dengan klausul baku.

7 Apr 2011

PRANATA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

                     UU RI NO. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak hanya mengatur mengenai arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa, melainkan juga alternatif penyelesaian sengketa lainnya yaitu dengan cara konsultasi, negoisasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.
                Alternatif penyelesaian sengketa adalah suatu penyelesaian sengketa di luar pengadilan, atau dengan cara mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri. UU ni juga mengatur suatu proses pelaksanaan perjanjian dalam bentuk pemberian pendapat oleh ahli-ahli atas penafsiran terhadap satu atau lebih ketentuan yang belum atau tidak jelas, yang bertujuan untuk mencegah timbulnya sengketa di antara para pihak dalam perjanjian.

1.       Konsultasi
Konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat “personal” antara suatu pihak tertentu, yang disebut dengan “klien” dengan pihak lain yang merupakan pihak “konsultan”, yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut. Peran dari konsultan dalam menyelesaikan sengketa yang ada tidaklah dominan sama sekali, konsultan hanyalah memberikan pendapat (hukum), sebagaimana diminta oleh kliennya yang untuk selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil oleh para pihak.

2.       Negoisasi dan Perdamaian
Menurut pasal 1851 sampai dengan 1864 KUHPerdata perdamaian adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara.
Negoisasi menurut rumusan pasal 6 (2) UU No. 30 Tahun 1999 tersebut:
1.       Diberikan tenggang waktu penyelesaian paling lama 14 hari, dan
2.       Penyelesaian sengketa tersebut harus dilakukan dalam bentuk “pertemuan langsung” oleh dan antara para pihak yang bersangkutan.
Negoisasi merupakan salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di luar pengadilan, sedangkan perdamaian dapat dilakukan baik sebelum proses persidangan pengadilan dilakukan, maupun setelah sidang peradilan dilaksanakan, baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan.

3.       Mediasi
Mediasi merupakan suatu proses kegiatan sebagai kelanjutan dari gagalnya negosiasi yang dilakukan oleh para pihak. Dalam pasal 6 (3) dikatakan bahwa “atas kesepakatan tertulis para pihak” sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan “seseorang atau lebih penasehat ahli” maupun melalui “seorang mediator”.
Mediasi melibatkan keberadaan pihak ketiga (baik perorangan maupun dalam bentuk suatu lembaga independen) yang bersifat netral dan tidak memihak, yang akan berfungsi sebagai “mediator”.
UU No. 30 Tahun 1999 membedakan mediator ke dalam:
1.       Mediator yang ditunjuk secara bersama oleh para pihak (pasal 6 ayat (3)); dan
2.       Mediator yang ditunjuk oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang ditunjuk oleh para pihak (pasal 6 ayat (4)).

4.       Konsiliasi dan Perdamaian
Pada prinsipnya konsiliasi tidak berbeda jauh dengan perdamaian, sebagaimana di atur dalam pasal 1851 sampai dengan pasal 1846 yang berarti segala sesuatu yang dimaksudkan untuk diselesaikan melalui konsiliasi secara tidak langsung juga tunduk pada ketentuan KUHPerdata. Dan ini berarti hasil kesepakatan para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa konsiliasi ini pun harus dibuat secara tertulis dan ditanda tangani secara bersama oleh para pihak yang bersengketa.
Konsiliasi dalam UU No. 30 Tahun 1999 sebagai suatu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah suatu tindakan atau proses untuk mencapai perdamaian di luar pengadilan.

5.       Pendapat Hukum Oleh Lembaga Arbitrase
Pasal 52 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, menyatakan bahwa para pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari lembaga arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian.
Menurut pasal 52, pendapat hukum yang diberikan oleh lembaga arbitrase tersebut dikatakan bersifat mengikat oleh karena pendapat yang diberikan tersebut akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokok. Setiap pelanggaran terhadap pendapat hukum yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap perjanjian.