31 Okt 2010

Sistem Pemerintahan Parlementer dan Sistem Pemerintahan Presidensil

1.    Sistem Pemerintahan Parlementer
Sistem parlementer adalah sistem atau keseluruhan prinsip penataan hubungan kerja antarlembaga negara yang secara formal memberikan peran utama kepada parlemen atau badan legislatif dalam menjalankan pemerintahan negara.
a.     Karakteristik Sistem Parlementer
Dominasi peranan parlemen itu tampak dari hal-hal berikut:
·         Parlemen, melalui pemimpin partai yang menguasai mayoritas kursi parlemen, menyusun kabinet atau dewan menteri. Lazimnya pemimpin partai itu diminta oleh kepala negara untuk menjadi pembentuk kabinet (formatur kabinet). Pembentuk kabinet itu akan:
a.       Menyusun sendiri susunan kabinet jika ia merasa tidak memerlukan koalisi; atau
b.      Menghubungi, melakukan tawr-menawar dan menyusun bersama kabinet dengan pimpinan partai-partai politik lain yang akan dilibatkan dalam kabinet koalisi. Sesudah kabinet terbentuk, formatur kabinet akan menjadi menteri utama atau perdana menteri yang memimpin kerja kabinet.
·         Perdana menteri dan para menteri itu berasal dari kalangan anggota parlemen dan akan tetap menjadi anggota parlemen, sehingga hakikat kabinet hanyalah sebuah komisi dari parlemen.
·         Perdana menteri dan kabinetnya berkewajiban menjalankan kewajiban pemerintahan yang digariskan oleh parlemen; dan karena itu, harus bertanggung jawab kepada parlemen. Parlemen mengawasi jalannya pemerintahan dan menilai apakah kabinet masih dapat dipercaya untuk menjalankan kebijakan pemerintahan ataukah tidak.
·         Masa jabatan menteri atau kabinet sangat bergantung pada kehendak parlemen. Para menteri itu akan tetap memegang jabatannya selama mereka mendapat kepercayaan dari parlemen. Namun apabila mereka mendapat mosi tidak percaya dari parlemen, mereka pun harus mengundurkan diri dari jabatannya.
·         Kepala negara atau raja berperan sebagai penengah bila terjadi pertentangan antara parlemen dan kabinet. Terdapat pula mekanisme ‘menyeimbangkan’ kekuasaan kabinet dengan parlemen melalui pelaksanaan pemilu lebih awal, yang dapat dilaksanakan bila kabinet pengganti yang baru terbentuk ternyata juga masih mendapat mosi tidak percaya dari parlemen. Dalam hal semacam ini, kabinet justru bisa meminta kepala negara agar menyelenggarakan pemilu anggota parlemen yang baru.
Dapat disimpulkan bahwa sistem pemerintahan parlementer adalah keseluruhan prinsip penataan hubungan kerja antara legislatif dan eksekutif (dan juga yudikatif) yang dicirikan oleh adanya ‘fusi atau penggabungan kekuasaan’, yaitu pemusatan semua kekuasaan pada parlemen.
1.      Kelebihan Sistem Pemerintahan Parlementer:
  1. Pembuat kebijakan dapat ditangani secara cepat karena mudah terjadi penyesuaian pendapat antara eksekutif dan legislatif. Hal ini karena kekuasaan eksekutif dan legislatif berada pada satu partai atau koalisi partai.
  2. Garis tanggung jawab dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan public jelas.
  3. Adanya pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap kabinet sehingga kabinet menjadi barhati-hati dalam menjalankan pemerintahan.
2.      Kekurangan Sistem Pemerintahan Parlementer:
  1. Kedudukan badan eksekutif/kabinet sangat tergantung pada mayoritas dukungan parlemen sehingga sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan oleh parlemen.
  2. Kelangsungan kedudukan badan eksekutif atau kabinet tidak bias ditentukan berakhir sesuai dengan masa jabatannya karena sewaktu-waktu kabinet dapat bubar.
  3. Kabinet dapat mengendalikan parlemen. Hal itu terjadi apabila para anggota kabinet adalah anggota parlemen dan berasal dari partai meyoritas. Karena pengaruh mereka yang besar diparlemen dan partai, anggota kabinet dapat mengusai parlemen.
  4. Parlemen menjadi tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif. Pengalaman mereka menjadi anggota parlemen dimanfaatkan dan manjadi bekal penting untuk menjadi menteri atau jabatan eksekutif lainnya.

b.    Prinsip-prinsip Sistem Parlementer
Menurut Ranney, pemusatan kekuasaan negara ke tangan parlemen di negara pengguna sistem parlementer dilakukan melalui dua sarana, yaitu:
a.       Rangkap jabatan, dan
b.      Dominasi formal parlemen.

1.      Rangkap Jabatan
Konstitusi negara yang menganut sistem parlementer akan menentukan bahwa mereka yang menduduki jabatan menteri harus merupakan anggota parlemen. Dengan demikian kabinet dan para menterinya merupakan komisi parlemen yang didudukkan di lembaga eksekutif.
Prinsip semacam ini tentu berbeda dengan ajaran trias politika yang menghendaki adanya pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga cabang kekuasaan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) yang masing-masing harus dijabat oleh pejabat atau tumpang tindih pejabat di antara tiga cabang kekuasaan yang ada.

2.      Dominasi Resmi Parlemen
Dalam sistem pemerintahan parlementer, parlemen sangat berkuasa. Parlemen merupakan lembaga legislatif negara tertinggi. Mereka tidak saja membuat undang-undang baru, melainkan juga memiliki kekuasaan untuk merevisi atau mencabut undang-undang yang berlaku dan menentukan apakah sebuah undang-undang bersifat konstitusional atau tidak.
Kabinet, yang merupakan cabang pemerintahan eksekutif yang menentukan kebijakan pemerintahan, duduk di parlemen dan harus bertanggung jawab terhadapnya. Wewenang para menteri untuk  memimpin lembaga-lembaga eksekutif dijamin oleh parlemen selama para menteri itu masih dipercaya oleh parlemen. Bila memutuskan untuk menarik kepercayaannya terhadap kabinet atau menteri, parlemen tinggal menyatakan mosi tidak percaya. Jika hal itu terjadi, kabinet atau menteri yang bersangkutan harus mengundurkan diri dari jabatannya dan digantikan oleh kabinet yang dapat diterima mayoritas anggota parlemen.
Jika kabinet baru itu kemudian juga mendapat mosi tidak percaya, pemilu baru untuk memilih anggota parlemen bisa dilakukan, yang hasilnya bisa berupa terpilihnya kembali menteri yang lama ataupun digantikan dengan yang baru. Dengan kata lain, kemacetan kerja atau deadlock antara legislatif dan eksekutif yang umum terjadi dalam sistem presidensial tidak ditoleransi dalam sistem parlementer; sebab, dalam sistem parlementer kemacetan itu dipecahkan dengan mengubah keanggotaan dan perilaku salah satu atau kedua belah pihak (kabinet atau parlemen) sehingga kesepakatan di antara mereka dapat dicapai.

2.    Sistem Pemerintahan Presidensial
Sistem presidensial adalah sistem atau keseluruhan prinsip penataan hubungan kerja antar lembaga negara melalui pemisahan kekuasaan negara, di mana presiden memainkan peran kunci dalam pengelolaan kekuasaan eksekutif.
a.     Karakteristik Sistem Presidensial
Peran kunci presiden itu tampak dari hal-hal berikut:
·         Presiden adalah kepala negara sekaligus adalah kepala pemerintahan.
·         Presiden adalah pihak yang berwenang menyusun kabinet. Dalam menyusun kabinet tidak ada kewajiban resmi bagi presiden untuk menghubungi, melakukan tawar-menawar dengan pihak-pihak yang secara politik terwakili di parlemen. ( Sistem ini juga disebut sebagai sistem non-parliamentary executive, karena pengangkatan para menteri sepenuhnya menjadi kekuasaan presiden).
·         Para menteri tidak boleh menjadi anggota parlemen; jadi, kabinet bukan merupakan sebuah komisi dari parlemen melainkan semata-mata pembantu presiden.
·         Para menteri bertanggung jawab kepada presiden, bukan kepada parlemen. Mereka tetap menduduki jabatannya sebagai menteri selama masih dipercaya oleh presiden. Mereka tidak dapat dijatuhkan oleh mosi tidak percaya dari parlemen.
·         Masa jabatan menteri sangat bergantung pada presiden. Presiden dapat mengganti menterinya yang dipandang tidak mampu kapan pun ia mau. Masa jabatan para menteri tidak bergantung pada kepercayaan parlemen, melainkan tergantung pada presiden. (Karena itu, sistem presidensial juga disebut sebagai sistem fixed executive, dalam arti masa jabatannya pasti tidak bergantung pada kehendak parlemen).
·         Peran parlemen dan eksekutif dibuat seimbang melalui sistem check and balances.

1.      Kelebihan Sistem Pemerintahan Presidensial
  1. Badan eksekutif lebih stabil kedudukannya karena tidak tergantung pada parlemen.
  2. Masa jabatan badan eksekutif lebih jelas dengan jangka waktu tertentu. Misalnya, masa jabatan Presiden Amerika Serikat adalah empat tahun, Presiden Indonesia adalah lima tahun.
  3. Penyusun program kerja kabinet mudah disesuaikan dengan jangka waktu masa jabatannya.
  4. Legislatif bukan tempat kaderisasi untuk jabatan-jabatan eksekutif karena dapat diisi oleh orang luar termasuk anggota parlemen sendiri.
2.      Kekurangan Sistem Pemerintahan Presidensial
  1. Kekuasaan eksekutif diluar pengawasan langsung legislatif sehingga dapat menciptakan kekuasaan mutlak.
  2. Sistem pertanggungjawaban kurang jelas.
  3. Pembuatan keputusan atau kebijakan publik umumnya hasil tawar-menawar antara eksekutif dan legislatif sehingga dapat terjadi keputusan tidak tegas dan memakan waktu yang lama.
b.    Prinsip-prinsip Sistem Presidensial
Menurut Ranney, di negara yang menganut sistem presidensial ketiga jenis kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) secara formal dipisahkan melalui dua macam sarana, yaitu:
a.       Pemisahan jabatan
b.      Sistem control dan keseimbangan (check and balances) antar lembaga negara.

1.      Pemisahan Pejabat atau Larangan Rangkap Jabatan
Berbeda dari sistem parlementer, dalam sistem presidensial rangkap jabatan justru dilarang. Sesuai ajaran trias politika, orang yang sudah menjabat di salah satu cabang kekuasaan tidak boleh menduduki jabatan di cabang kekuasaan yang lain. Seorang anggota parlemen tidak boleh merangkap menjadi menteri, demikian juga sebaliknya.
Larangan rangkap jabatan ini, misalnya, belaku di Amerika Serikat. Di sana, tidak seorang pun dibolehkan meduduki lebih dari satu jabatan dalam ketiga cabang kekuasan yang ada. Seorang jaksa agung yang ingin mencalonkan diri sebagai senator negara bagaian tertentu, misalnya, harus meletakkan jabatannya terlebih dulu sebagai jaksa agung. Jika seorang senator akan menjadi sekretaris negara, ia harus mengundurkan diri dari jabatannya sebagai anggota senat.

2.      Kontrol dan Keseimbangan (check and balances)
Untuk mencegah kemungkinan satu lembaga atau cabang kekuasaan memperbesar kekuasaannya sendiri, masing-masing cabang kekuasaan diberi kekuasaan untuk mengontrol cabang kekuasaan yang lain. Dengan cara itu, posisi masing-masing cabang kekuasaan tetap dalam keseimbangan yang tepat. Di Amerika Serikat, Kongres diberi kekuasaan untuk mengontrol mahkamah agung, dan menahan persetujuan terhadap calon hakim agung. Presiden diberi kekuasaan untuk mengontrol Kongres dengan hak veto atas UU yang telah disetujui Kongres, dan mengontrol mahkamah agung dengan mengajukan calon mahkamah agung. Di lain pihak, mahkamah agung mengontrol Kongres dan presiden melalui kekuasaannya untuk melakukan judicial review.

3 komentar:

  1. Balasan
    1. tidak butuh tapi membuka blog nya...
      terimakasih atas infonya, sangat membantu

      Hapus
  2. ini.... copas 100% dari buku "PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Untuk SMA Kelas XII" buatan Bambang Suteng dkk ya?

    BalasHapus