22 Mei 2011

Kodifikasi Hukum Laut Internasional

SEJARAH HUKUM LAUT INTERNASIONAL
a.      Hukum Laut Rhodia (abad 7)
Rhodes adalah seorang pelaut, yang kuat serta mandiri. Antara 1.000 SM dan 600 SM, rakyat Rhodes mengembangkan armada komersial yang kuat dan mereka tersebar di daerah Mediterania, serta mendirikan koloni perdagangan di sepanjang pantai barat Italia, Perancis dan SpanyolBetween 1,000 BC and 600 BC, the people of Rhodes developed a strong commercial fleet and they were soon everywhere in the Mediterranean, as well as establishing trading colonies along the west coast of Italy, France and   . Secara bersamaan, orang-orang Rhodes mengembangkan aturan hukum untuk menangani perselisihan pengiriman yang disebut kode hukum maritim (Rhodia Lex). Tidak ada salinan kode hukum maritim pernah ditemukan. Yet Rhodian maritime law survived until the Roman Empire, and adopted by the Romans: it is explicitly mentioned in Book 2, Title 7 of the Roman law text, Opinions of Julius Paulus ( circa 23Namun hukum maritim Rhodian bertahan sampai Kekaisaran Romawi, dan diadopsi oleh bangsa Roma.

            b.      Consolato del Mare (1494)
Sebelum Imperium Romawi berada dalam puncak kejayaan, Phoenicia dan Rhodes mengkaitkan kekuasaan atas laut dengan pemilikan kerajaan atas laut. Pengaruh pemikiran tersebut tidak terlalu besar karena tenggelam dalam perkembangan laut yang didasarkan atas hukum Romawi pada abad pertengahan dimana saat itu tidak ada pihak lain yang menentang kekuasaan mutlak Romawi terhadap Laut Tengah. Laut Tengah pada masa itu seperti danau dalam wilayah Imperium Romawi dan menjadi lautan yang bebas dari gangguan bajak laut sehingga semua orang bebas menggunakan Laut Tengah dengan aman dan sehjatera. Pemikiran hukum yang melandasi sikap Bangsa Romawi terhadap laut adalah bahwa laut merupakan suatu hak bersama seluruh umat (res communis omnium) sehingga penggunaan laut terbuka bagi setiap orang. Di kawasan Laut Tengah sekitar abad ke-14 terhimpun sekumpulan peraturan hukum laut yang dikenal dengan Consolato del Mare yang merupakan seperangkat ketentuan hukum laut yang berkaitan dengan perdagangan (perdata).

c.       Himpunan Rolles d’oleron
The Rolls of Oléron atau juga dikenal sebagai “Hukum Oleron” dan “Aturan Oleron” adalah koleksi penilaian disusun menjadi kode di akhir abad kedua belas melalui suatu keputusan Eleanor dari Aquitaine, yang digunakan sebagai kode maritim di seluruh Eropa. Ini adalah sumber Hukum Admiralty Inggris. Sekitar 1160  Eleanor dari Aquitaine pergi di pulau Oleron untuk keadilan. Dia juga melakukan laporan hukum, yang kemudian dikodifikasikan untuk mengatur perdagangan maritim. Ini merupakan kode maritim pertama yang sukses besar. Hal ini secara bertahap berkembang menjadi 24 item ke akhir abad kedua belas.

d.      Sea Code of Wisby
Kode hukum laut yang ditetapkan oleh para pedagang dan penguasa kota megah Wisbuy. Kota ini adalah ibukota kuno Gothland, sebuah pulau di laut Baltik. Maylne, dalam koleksi hukum laut, mengatakan bahwa hukum Oleron telah diterjamahkan ke dalam bahasa Belanda oleh rakyat Wisbuy ntuk penggunaan pantai Belanda. Ketentuan dalam Hukum Wisby adalah persis sama dengan yang ditemukan di Hukum Oleron. Namun para penulis utara ini berpura-pura bahwa Hukum Wisby lebih dahulu ada daripada Hukum Oleron atau dari Consolato del Mare.

e.       Hukum Laut Amanna Gappa
Himpunan hukum pelayaran dan perdagangan di Indonesia yang berasal dari Bugis, Sulawesi Selatan. Dimana dalam hukum laut dan pelayaran Amanna Gappa ini memuat dua puluh satu pasal, hal ini merupakan penyempurnaan dari Muhammad Ibnu Badwi yang ditulisnya ketika berada di Gresik.

            Pada tahun 1603, “Santa Catarina”, sebuah kapal Portugis dirampas oleh VOC (di bawah Admiral Jacon van Hemskeerk) di perairan Malaka. Saat itu Belanda sedang terlibat perang dengan Portugis dan Spanyol dalam upaya berebut pengaruh di Asia Tenggara. Portugis meminta supaya Belanda mengembalikan muatan “Santa Catarina” yang antara lain berupa 1200 gulung sutera Cina. Van Hemskeerk tidak memiliki otoritas dari VOC untuk menggunakan kekerasan terhadap kapal-kapal Portugis. Sehingga sebagian pemegang saham kurang setuju dengan pemggunaan kekerasan tanpa kewenangan yang menyertai perampasan “Santa Catarina”. Setelah muncul kontroversi, VOC meminta Hugo Grotius untuk menyusun argumentasi mendukung perampasan Santa Catarina. Grotius membenarkan perampasan terhadap kapal Portugis berdasarkan konsep “Mare Liberum”, yaitu laut  adalah wilayah yang bebas dipergunakan oleh bangsa manapun, tidak bisa dimonopoli oleh suatu negara. Monopoli Portugis di lautan Hindia bertentangan dengan “prinsip keadilan alamiah.”
            Konsep “Mare Liberum” kemudian ditentang oleh Inggris yang saat itu sedang bersaing dengan Belanda untuk menguasai lautan. Inggris kembali menegaskan konsep “Mare Clausum.” Menurut konsep Mare Clausum, laut adalah wilayah yang dpat dimiliki sebagaimana wilayah darat.
Dalam praktik, negara-negara mengambil jalan tengah, yaitu ada bagian laut yang bisa dimiliki dan ada bagian laut lepas. Salah satu gagasan tentang kepemilikan laut didasarkan pada kemampuan penguasaan efektif oleh negara pantai berdsarkan jangkauan tembakan meriam (ketika itu) dari darat, yakni selebar 3 mil. Sejak saat itu, negara-negara mulai mengembangkan Hukum Internasional Kebiasaan di dalam pemanfaatan laut.


UPAYA KODIFIKASI
a.      Konferensi Kodifikasi Den Haag (1930)
            Konferesi Internasioanal pertama yang membahas masalah laut teritorial ialah codification conference (13 Maret – 12 April 1930) di Den Haag, dibawah naungan Liga Bangsa Bangsa, dan dihadiri delegasi dari 47 negara. Konferemsi ini tidak mencapai kata sepakat tentang batas luar dari laut teritorial dan hak menangkap ikan dari negara-negara pantai zona tambahan. Ada yang menginginkan lebar laut teritorial 3 mil (20 negara), 6 mil (12 negara), dan 4 mil.

Setelah perdebatan panjang dan tidak menemukan kata sepakat diantara negara-negara yang bersengketa tentang wilayah maritim, maka PPB yang sebelumnya bernama Liga Bangsa Bangsa melalui Resolusi Majelis Umum PBB tanggal 21 Februari menyetujui untuk mengadakan konferensi Internasional tentang hukum laut pada bulan Maret 1958.

b.      UNCLOS I
Konferensi ini diadakan pada tanggal 24 Februari – 27 April 1958 yang dihadiri oleh 700 delegasi dari 86 negara, yang dikenal dengan UNCLOS I (United Nations Convention on The Law of The Sea) atau konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang hukum laut.
            Pertemuan ini menghasilkan empat konvensi, yaitu:
1.        Konvensi tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan
Memuat hak kedaulatan dan hak lintas melalui laut teritorial, penambahan zona tambahan seluas 12 mil laut dari garis pantai, tapi gagal untuk menetapkan  standar batas laut teritorial. Konvensi ini mulai berlaku sejak 10 September 1964.

2.        Konvensi tentang Laut Lepas
Memuat tentang:
a.       Kebebasan pelayaran
b.      Kebebasan menangkap ikan
c.       Kebebasan meletakkan kabel di bawah laut dan pipa-pipa
d.      Kebebasan terbang di atas laut lepas
Berlaku sejak tanggal 30 September 1962.

3.        Konvensi tentang Perikanan dan Perlindungan Sumber-sumber Hayati di Laut Lepas
Memuat hak-hak negara pantai untuk melindungi sumber daya hayati laut serta memuat langkah-langkah untuk penyelesaian sengketa apabila terjadi. Berlaku sejak tanggal 20 Maret 1966.

4.        Konvensi tentang Landas Kontinen
Memuat rezim yang mengatur perairan dan wilayah udara, peletakan dan pemeliharaan kabel laut atau pipa, rezim yang mengatur navigasi, memancing, penelitian ilmiah dan kompetensi negara pantai  di wilayah ini. Berlaku semenjak tanggal 10 Juni 1964.

c.       UNCLOS II (1960)
Dalam upaya untuk menangani isu-isu yang belum terpecahkan setelah UNCLOS I, Majelis Umum PBB mengadakan Konvensi Kedua tentang Hukum Laut (UNCLOS II).  Konferensi ini berlangsung dari tanggal 17 Maret sampai dengan 26 April 1960. UNCLOS II ini membicarakan tentang lebar laut teritorial dan zona tambahan perikanan, namun masih mengalami kegagalan untuk mencapai kesepakatan, sehingga perlu diadakan konferensi lagi.

d.      UNCLOS III (1982)
Frustasi oleh inkonsistensi dalam rezim pemerintahan laut, duta besar Malta untuk PBB, Arvid Pardo, meminta Majelis Umum untuk mengambil tindakan dan menyerukan “sebuah rezim internasional yang efektif atas dasar laut,” yang jelas-jelas didefinisikan nasioanal yurisdiksi.
Satu bulan kemudian, Majelis Umum mengadopsi resolusi 2467 A (XXIII) dan resolusi 2750 C (XXV), yang melahirkan the Committee on the Peaceful Uses of the Sea-Bed and the Ocean Floor di luar batas yurisdiksi nasional dan menyerukan diadakannya Konferensi ketiga tentang Hukum Laut (UNCLOS III) yang diadakan pada tahun 1973 di New York. Dalam upaya mengurangi kemungkinan kelompok negara atau bangsa mendominasi perundingan, konferensi yang menggunakan proses konsensus dengan suara terbanyak. Dengan lebih dari 160 negara peserta, konferensi ini berlangsung sampai tahun 1982 yang disetujui di Montego Bay, Jamaica pada tanggal 10 Desember 1982 yang ditandatangani oleh 119 negara. Konvensi yang dihasilkan mulai berlaku pada tanggal 16 November 1994, satu tahun setelah negara keenam puluh, Guyana, meratifikasi perjanjian internasional tersebut.
            Konverensi itu berisi 320 artikel dan 9 lampiran. Ini mensintesis dan dibuat berdasarkan perjanjian yang telah dikembangkan di konferensi pertama. Yang memuat sejumlah ketentuan seperti menetapkan batas, navigasi, status kepulauan dan rezim transit, zona ekonomi eksklusif (ZEE), yurisdiksi landas kontinen, penambangan dasar laut dalam, rezim eksploitasi, perlindungan lingkungan laut, penelitian ilmiah, dan penyelesaian sengketa.
Konvensi tersebut menetapkan batas berbagai daerah, diukur dari garis pangkal. Biasanya, sebuah dasar laut mengikuti garis air rendah, tapi ketika garis pantai yang sangat menjorok, memiliki tepi pulau, garis pangkal lurus dapat digunakan. Daerahnya adalah sebagai berikut:
1.      Perairan Dalam
Meliputi semua air dan saluran air pada sisi darat dari garis pangkal. Negara pantai bebas untuk mengatur hukum, mengatur penggunaan, dan penggunaan sumber daya apapun.

2.      Laut Teritorial
Batas luar sampai 12 mil laut dari garis pangkal, negara pantai bebas untuk mengatur hukum, mengatur penggunaan, dan menggunakan sumber daya apapun. Kapal diberi hak lintas damai melalui perairan teritorial, dengan selat strategis memungkinkan perjalanan militer sebagai lintas transit, kapal laut harus memperlihatkan negara bendera di perairan teritorial. "Innocent Passage" didefinisikan oleh konvensi sebagai melewati perairan secara cepat dan berkesinambungan, yang tidak merugikan bagi perdamaian, ketertiban atau keamanan negara pantai. Memancing, polusi, praktek senjata, dan kapal selam serta kendaraan bawah air lainnya diharuskan melakukan navigasi di permukaan dan menunjukkan bendera mereka. Negara pantai juga dapat menangguhkan untuk sementara lintas damai di daerah tertentu dari laut teritorialnya, jika hal itu sangat penting untuk perlindungan keamanannya.

3.      Kepulauan Perairan
Konvensi ini menetapkan definisi Archipelagi Waters dalam Bagian IV, yang juga mendefinisikan bagaimana negara dapat menarik batas teritorial. Dasarnya adalah ditarik antara titik-titik terluar dari pulau terluar, tunduk pada poin yang cukup dekat satu sama lain. Semua perairan di dalam dasar ini ditujukan Archipelagi Waters. Negara memiliki kedaulatan penuh atas perairan ini (seperti perairan dalam), tetapi kapal asing memiliki hak lintas damai melalui perairan kepulauan (seperti perairan teritorial).

4.      Zona Tambahan
Zona yang berbatasan dengan laut teritorial yang jaraknya tidak melebihi 24 mil dari garis pangkal. Kewenangan negara pantai di zona tambahan yaitu dapat melakukan pencegahan pelanggaran-pelanggaran perundang-undangan yang berkenaan dengan masalah beacukai, perpajakan, pengimigrasian, dan kesehatan atau saniter. Serta menghukum pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang disebut sebelumnya.

5.      Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
Zona Ekonomi Eksklusif merupakan suatu daerah atau area yang terletak di luar dan berdampingan dengan laut teritorial. Zona Ekonomi Eksklusif berada di luar wilayah negara atau bukan merupakan wilayah negara. Akan tetapi negara pantai yang bersangkutan memiliki hak-hak dan yurisdikdi-yurisdikdi tertentu. Disamping itu hak-hak dan kebebasan-kebebasan juga dimiliki oleh negara lain pada zona laut ini yang harus dihormati oleh negara pantai.

6.      Landasan Kontinen
Landas kontinen meliputi dasar laut dan tanah dibawahnya diluar laut teritorialyang merupakan lanjutan alamiah dari wilayah daratannya sampai jarak 200 mil laut dari garis pangkal, atau sampai disisi luar dari ketentuan kontinen. Landas kontinen suatu negara boleh melebihi 200 mil laut sampai perpanjangan alami berakhir. Namun, tidak dapat melebihi 350 mil laut dari garis pangkal, atau mungkin tidak akan pernah melebihi 100 mil laut dari garis batas kedalaman 2.500 meter.

Selain dari ketentuan-ketentuan yang menentukan batas-batas laut, konvensi menetapkan kewajiban umum untuk melindungi lingkungan laut dan melindungi kebebasan penelitian ilmiah di laut lepas, dan juga menciptakan suatu rezim hukum inovatif untuk mengendalikan eksploitasi sumber daya mineral di daerah-daerah dasar laut yang di luar yurisdiksi nasional, melalui International Seabed Authority dan Common heritage of mankind principle.

1 komentar: